Tuesday, October 9, 2007

Berkah Sekulerisasi Politik

Oleh Zacky Khairul Umam

Temuan terbaru Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengenai kecenderungan politik umat muslim menarik dikaji lebih lanjut. Data yang diumumkan LSI menyebutkan bahwa sekulerisasi politik yeng terjadi pada warga muslim di indonesia semakin dalam dan luas. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya yang tidak setuju dengan fatwa yang mengharamkan bunga bank, penerapan hukum rajam, dan penolakan presiden berjenis kelamin perempuan. Bahkan secara keseluruhan hanya 33 % yang ingin mengusung politik islami dan 57% mendukung politik sekuler. Sementara 10 persen sisanya tidak bersikap.

Temuan yang juga mencengangkan terletak pada jumlah dukungan terhadap partai politik berbasis islam (PKS, PPP) dan berbasis massa islam (PKB, PAN) yang mengalami stagnasi dan cenderung semakin menurun. Kondisi itu berbalikan dengan dukungan publik terhadap partai berbasis non agama. Psikologi warga muslim tidak terikat secara ketat dengan agama. Warga muslim dengan afiliasi ormas islam seperti NU dan Muhammadiyah pun tidak berarti berpartisipasi pada partai yang lebih dekat dengannya. Ada keberjarakan yang memisahkan keyakinan keagamaan dengan partisipasi, dukungan, serta sikap politik.

Bahwa tingkat kesalehan warga muslim Indonesia meningkat juga memunculkan fenomena persemaian muslim demokrat memang membangggakan, tapi realitas berkata bahwa dalam politik praktis dan penyelenggaraan kewarganegaraan secara umum mereka merebahkan diri pada upaya yang amat sekuler: semata-mata bahwa urusan politik tidak melulu sakral yang serba dikaitkan dengan masalah agama.

Isu-isu kampanye atau suara politik yang lebih dekat dengan formalisasi syariat agama yang jumud, faktanya tidak mendapat pilihan di hati rakyat luas. Isu-isu itu terlihat elitis dan amat mahal ongkos serta dampak sosial-politik-nya. Yang ada di benak masyarakat hanya bagaimana penyelengaraan kekuasaan bisa memenuhi harapan mereka semacam kondisi ekonomi yang membaik, keamanan meningkat, dan kondisi riil lainnya khususnya dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan. Mau tidak mau strategi kampanye partai politik berganti arah ke pemenuhan janji yang diinginkan masyarakat.

Ekspektasi masyarakat menjadi ukuran bagaimana politik Islam kemudian diartikulasikan kembali (obyektivikasi). Yaitu, menerjemahkan bahasa-bahasa keagamaan dalam ruang publik secara umum, seperti keadilan, supremasi hukum, kesejahteraan, transparansi publik, dan seterusnya. Hal itu kentara sekali ketika artikulasi poltik islam yang lebih mengacu pada upaya pemberantasan korupsi, perwujudan islah dan perdamaian, serta kredibilitas publik semakin banyak dilirik ketimbnag jika menggunakan isu semacam pendirian negara islam atau bahkan kekhalifaan international,

Kecenderungan pilihan warga muslim yang tidak berpatokan terhadap hal demikian merupakan kejeniusan politik dalam jangkar sekuler. Dewasa tidaknya pilihan, sikap, dan perilaku politik warga muslim amat di tentukan oleh pemilahan rasional akan kalkulasi implikasi yang terjadi atas partisipasi yang ia jalankan. Tren seperti ini akan berhasil memformulasikan umat muslim, dari posisi kawula dalam konstruksi politik tradisional Indonesia ke arah kewarganegaraan yang lebih imparsial, beradab, serta kosmopolit.

Sekularisasi, seperti pernah ditegaskan almarhum Cak Nur, sebagai pembebasan kehidupan poltik duniawi dari sakralisasi keakhiratan, merupakan keniscayaan untuk mencapai tingkat keadaban politik yang luhur. Proses sekulerisasi politik tak bakal membonsai partisipasi politik Islam, tapi justru akan lebih membuatnya menjadi kekuatan yang amat prigel dan fleksibel dalam memformulasikan kewargaan muslim secara demokratis. Disitulah sekularisasi membawa misi profetik yang melewatbatasi sebuah kebekuan berpolitik. Dan karenanya, hal itu menjadi berkah dan bukan kutukan.


sumber: Tempo, Rabu, 10 oktober 2007

No comments: