Sunday, December 21, 2008

Hidup cukup

Bang Uki telah lebih dari 20 tahun berdagang nasi uduk di pinggir Pasar Kebayoran lama, Jakarta Selatan. Uduk yang sungguh enak. Tiap pagi puluhan orang antri untuk makan di tempat atau dibawa pulang. Paling lama dua jam saja seluruh dagangan Bang Uki-ada empal, telur, semur daging, tenpe goring- ludes habis. Begitu setiap hari, 20 tahun lebih.

Pertengahan 1980-an ekonomi orde baru tengah menanjak ke puncak ketinggiannya. Bang Uki dengan ritme stabil batang pohon cabai yang terus berproduksi, belanja pukul satu dini hari, masak mulai pukul dua, berangkat pukul empat dan seusai subuh telah menggelar barang dagangannya. Tepat jam tujuh pagi, semua tuntas. Pukul sepuluh dia sudah nongkrong di teras rumah, lengkap dengan kretek, gelas kopi, dan perkutut. “tinggal nunggu lohor”, tukasnya pendek.

Berulang kali pertanyaan bahkan desakan untuk membuka kios terbukanya hingga lebih siang sedikit, ditolak Bang Uki. “Buat apa??”, tukasnya. “Gua udah cukup, anak udah lulus es te em. Berdua bini gua udah naek haji, apalagi?”. Dia mulai memasak saat langit masih gelap. Kedua mata Bang Uki terpejam. Tangannya lincah mengiris bawang merah. Saya menegur. Tak ada reaksi. “Abah masih tidur”, istrinya balas menegur.

Kini 15 tahun kemudian, Bang Uki sudah pensin. Wajahnya penuh senyum. Hidupnya penuh, tak ada kehilangan. Kami yang kehilangan, masakan sedap khas betawi. Kami sedikit tak rela. Bang Uki terlihat begitu ikhlasnya. Wajahnya terang saat ia dimandikan untuk terakhir kalinya. Dua jam berdagang, enam jam bekerja, telah mencukupkan hidupnya.

Dan Bang Uki tidak sendiri. Nyi Omah juga tukang uduk di pasar Jum’at, Pak Haji Edeng tukang soto Pondok Pinang, pun begitu. Tukang Pecel di Solo, gudeg di Yogya, nasi Jamblang di Cirebon, atau bubur kacang hijau di Bandung, juga demekian. Mereka yang bekerja dan berdagang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jika telah cukup, untuk apa bekerja lebih. Untuk apa hasil, harta atau uang berlebih? ”Banyak mudaratnya”, kilah Pak Haji edeng.

Mungkin apa yang kini jelas adalah perilaku bisnis dan ekonomi tradisinal negeri ini ternyata mengajarkan satu moralitas; hidup wajib dicukupi, tetapi haram dilebih-lebihkan. Berkah Tuhan dan kekayaan alam bukan untuk kita keruk seorang. Manusia adalah makhluk sosial. Siapa pun mesti mananggung siapa pun.

Alternatif Kapitalisme

Moralitas berdagang ”Bang Uki” tentu bertentangan dengan apa yang kini menjadi moral dasar perekonomian material-kapitalistik. Di mana prinsip laissez faire atau free will dan free market digunakan tak hanya untuk memberi izin, bahkan mendesak setiap orang untuk ’mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit mungkin”. Satu spirit yang nyaris jadi kebenaran universal dan hampir tak ada daya tolak atau daya koreksinya.

Dan siapapun mafhum dengan segera, prinsip dan moralitas ekonomi modern itu bukan hanya melahirkan orang-orang yang sangat kaya, bahkan keterlaluan kayanya (semacam pembeli ferrari seharga Rp 5 miliar yang mubazir di Jakarta yang macet), tetapi juga sejumlah besar orang yang hingga kini tak bisa menjamin apakah ia dapat makan hari ini atau tidak.

Marolitas kapitalistik hanya menyediakan satu jalur sosial berupa filantrolisme, yang umumnya hanya berupa 'pengorbanan’ material yang hampir tiada artinya dibanding kekayaan bersih yang dimilikinya. George Soros misalnya, dengan kekayaan 11 miliar dollar AS (hampir sepertiga APBN Indonesia), mengeluarkan 400 juta dollar AS (hanya sekitar 4% atau setara dengan bunga deposito) untuk berderma dan menerima simpati global di sekian puluh negara.

Dan siapa peduli, bagaimana seorang Bill Gates, Rupert Murdoch, Liem Sioe Liong atau Probosutedjo menjadi begitu kayanya. Moralitas dasar kapitalisme diatas adalah dasar ’legal’ untuk mengamini kekayaan itu. Betapapun, boleh jadi, harta yang amat berlebih itu diperoleh dari cara-cara kasar, telengas, ilegal, bahkan atau-langsung dan tak langsung-dari merebut jatah orang lain.

Dan siapa mampu mencegah atau menghentikannya? Pertanyaan lebih praktisnya adalah: Siapa berani? Tak seorang pun. Hingga sensus mutakhir menyatakan adanya peningkatan jumlah harta orang-orang kaya dunia sebanding dengan peningkatan jumlah orang-orang papa. Belahan kekayaan ini sudah seperti palung gempa yang begitu dalamnya.
Lalu di mana Bang Uki? Ia tak ada di belahan manapun yang tersedia. Yang mungkin aneh, alienatif, marginal, tersingkir, luput, apa pun.

Namun sesungguhnya, ia adalah sebuah alternatif. Bukan musuh, lawan, atau pendamping kapitalisme. Ia adalah sebuah tawaran yang membuka kemungkinan di tengah kejumudan (tepatnya ketidakadilan) tata ekonomi dunia saat ini.

Ekonomi Cukup

Prinsip ”hidup yang cukup” Bang Uki adalah landasan bagi sebuah 'ekonomi cukup’, di mana manusia tidak lagi mengeksploitasi diri (nafsu)-nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya. Ia mengekplorasi potensi terbaiknya untuk memenuhi keperluan manusia, sebatas tuhan-yang mereka percaya- menganjurkan atau membatasinya.

Bagaimana ’cukup’ itu di definisi atau dibatasi, tak ada-bahkan tak perlu-ukuran dan standar. Seorang pengusaha dan profesional dapat mengukur sendiri dengan jujur batas ’cukup’ bagi dirinya.

Jika bagi dia dengan keluarga beranak dua, pembantu dua, tukang kebun, satpam, atau lainnya, merasa cukup dengan sebuah rumah indah, dua kendaraan kelas menengah, mengapa ia harus meraih lebih? Mengapa ioa harus melipatgandakannya?

Apalagi jika usaha tersebut harus melangggar prinsip hidup, nilai agama, tradisi, dan hal-hal lain yang semula ia junjung tinggi? Andaikan, sesungguhnya ia mampu menghsilkan puluhan miliar tabungan, sekian rumah mewah peristirahatn, bahkan jet pribadi, dapat dipastikan hal itu hanya akan menjadi beban. Bukan melulu saat ia berusaha meraih, tetapi juga saat mempertahankannya.

Bila pengusaha tersebut berhasil men”cukup”-kan dirinya, secara langsung ia telah mengikhlaskan kekayaan lebih yang tidak diperolehgnya (walau mampu) untuk menjadi rejeki orang lain. Ini sudah sebuah tindakan sosial. Dan tindakan tersebut akan bernilai lebih jika ”kemampuan lebihnya” itu ia dayagunakan untuk membantu usaha atau sukss orang lain. Sambil menularkan prinsip ”ekonomi cukup”, ia akan merasakan ”sukses” atau kemenangan hidup yang bernuansa lain jika ia berhasil membantu sukses lain orang dan tidak memungut serupiahpun uang jasa.

Maka, secara langsung satu proses pemerataan demi kesejahteraan bersamapun telah berlangsung. Palung atau senjang kekayaanpun menipis. Kesempatan meraih hidup yang baik dapat dirasakan semua phak. Pemerintah dapat bekerja lebih efektif tanpa gangguan-gsangguan luar biasa dari konflik-konflik ayng muncul akibat ketidak adilan ekonomi.

Dan seorang pejabat hingga presiden sekalipun, dapat pula mendefinisikan ”cukup” baginya; jika seluruh kebutuhan hidupku, hinggga biaya listrik, gaji pembantu, hingga pesiar telah ditanggung negara, buat apalagi gaji besar kuminta? Moralitas seperti ini adalah sebuah revolusi. Dan revolusi membutuhkan keberanian, kekuatan hati serta perjuangan tak henti.

Maka, ”cukuplah cukup”. Kita sederhanakan sebagai prinsip hidup/ekonomi yang ”sederhana”. Kian sederhana, maka kian cukup kian sejahteralah kita. Ukurannya? Yang paling sederhana, usul saya; semakin tinggi jenjang jumlah konsumsi dibanding jumlah produksi kita sehari-hari, mkin sederhana, makin cukup, dan sejahteralah kita.

Jika anda mampu membeli ferrari, mengapa tak mengkonsumsi Mercedes seri E saja, atau Camry lebih baik, atau Kijang pun bisa. Dan dana lebih, bisa anda gunakan untuk tindak-tindak sosial, untuk membuat harta anda bersih, aman, dan hidup pun nyaman penuh senyuman.
Beranikah anda? Berani kita? Tak usah berlebih, kita cukupkan saja.

By: RPD

Read more...

Tuesday, December 2, 2008

Nyamuk jantan dan betina

Pernahkah anda digigit seekor nyamuk dan menepuknya hingga mati. Pasti pernah bukan. Sekarang saya tanya “apa jenis kelamin nyamuk tersebut?”.

Dasar gila..!!, mana gue tau..”.

Ha..ha.. Ya harus tau donk.

Jika saat ini ada seekor nyamuk nakal yang menggigit, lalu secara refleks saya menepuknya. Saya bisa pastikan 100 % yakin bahwa nyamuk tersebut adalah betina. Bahkan kalau ada dua ekor nyamuk menggigit dan saya menepuknya, saya juga bisa pastikan 100 % yakin bahwa dua-duanya adalah betina. Lho koq bisa?

Ya bisa. Secara.. saya cute gitu loh (hueks). Maka bisa dipastikan nyamuk yang mendekati dan menggigit saya PASTI betina. Halah.. ndobos lan mrongos.

He..he..
Tentang cute-nya memang saya ndobos. Tapi tentang jenis kelamin nyamuknya, itu betul betina. Ini ilmiah.

Tahukah anda, ternyata hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah. Mereka membutuhkan protein darah guna perkembangan benih nyamuk. Nyamuk jantan tidak menghisap darah. Dia tidak mempunyai alat penghisap yang runcing untuk menembus kulit dan menghisap darah seperti halnya nyamuk betina. Bentuk mulut nyamuk jantan panjang dan berbulu.

Kalau begitu nyamuk jantan makan apa dunk untuk bertahan hidup. Makanan nyamuk jantan adalah sari bunga, buah, atau cairan lain yang mengandung gula dan nutrisi. Jika anda sedang menikmati semangkuk kolak dan menemukan seekor nyamuk yang mati terapung di dalam mangkuk kolak anda, dipastikan bahwa nyamuk tersebut adalah jantan.

Dari fakta ini dapat diketahui bahwa selama ini yang berperan dalam menularkan penyakit, seperti malaria dan DBD, adalah nyamuk betina.

Nah.. sudah bisakan membedakan nyamuk jantan dan betina.

Sekarang. Jika anda melihat seekor semut, lalu mengambilnya. Saya tanya. Apa jenis kelamin semut tersebut??

Read more...

Monday, December 1, 2008

Perhitungan pesangon UU no 13 tahun 2003

Imbas krisis ekonomi akhirnya sampai juga di kantor tempat saya bekerja. Beberapa pegawai telah mengalami pemutusan kerja. Sebagian besar adalah karyawan kontrak. Belum lagi isu bahwa hal ini akan merembet pada pegawai dengan status permanen. Tak heran beberapa hari teakhir kesedihan kental terasa mendominasi suasana tempat kerja.

Salah seorang karyawan kontrak yang telah bekerja selama 5 tahun juga mengalami nasib serupa. Sebut saja dia Wati. Wati diperbolehkan terus bekerja dengan satu syarat. Dia bekerja kembali namun di bawah payung sebuah perusahaan outsourcing yang telah direkomendasikan oleh perusahaan. Terlihat jelas upaya perusahaan yang tidak mau ‘ribet’ dan lepas tangan dengan memberhentikan semua karyawan kontrak, untuk kemudian dipekerjakan kembali namun dengan status outsource. Tentu saja dengan penghasilan dan fasilitas yang serba minim dan jauh dibawah penghasilan semula.

Saya masih teringat kesedihan yang jelas keluar saat Wati menceritakan kisahnya. Jasa dan loyalitas kerjanya selama bertahun-tahun seolah tak berarti. Dia merasa bagai sampah yang dibuang begitu saja. Ingin berontak namun apa daya. Ingin menolak tapi apa kuasa. Dengan kecewa dan tak rela, dia terpaksa menerima tawaran sebagai pegawai outsource. Sekali lagi hukum rimba berlaku. Yang kuat menang. Yang lemah tak berdaya. Nasib 'wong cilik'. Meminjam kata pusakanya Bu Mega.

Masih lebih beruntung teman saya yang lain yang juga mengalami pemutusan hubungan kerja. Statusnya telah permanen. Dia telah bekerja selama 8 tahun. Oleh perusahaan diberi pesangon sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bahkan lebih. Dengar-dengar pesangonnya mencapai nominal 100 juta. Masih muda, Sabtu kemaren baru saja selesai interview di perusahaan lain. Hati senang kantong tebal.

Yah.. fenomena PHK memang malapetaka bagi sebagian dan menguntungkan bagi sebagian yang lain. Terutama bagi mereka yang masih muda, produktif dan mempunyai keterampilan yang diandalkan.

Belum lama seorang teman mengirimkan aturan penghitungan uang pesangon berdasar UU no 13 tahun 2003. Berikut saya upload di sini. Semoga berguna. Sori kalo kurang jelas.




Jadi sesuai UU di atas, uang yang berhak diperoleh karyawan adalah uang pesangon dan atau uang penghargaan dan uang penggantian hak. Perincian besarnya uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak ada dipenjelasan pasal berikutnya.

Situs terkait dapat juga di lihat di sini.
Tentang UU No 13 tahun 2003 dapat dilihat secara lengkap di sini.

Read more...

Sunday, November 23, 2008

Barrack Obama Indonesia

Ada satu blog yang menarik. Indonesia-anonymus.blogspot. Blog ini telah menjadi langganan bermain saya. Namun sayang, karena sibuknya si empunya blog, tulisan dalam blog jarang di update. Mekipun begitu, saya rutin berkunjung berharap menemukan tulisan terbaru. Bagi saya bagus tidaknya blog tidak dilihat dari banyaknya postingan yang di update secara rutin dan sering. Namun lebih pada kualitas dari tulisan tersebut. Pengelola blog tidak menulis identitas secara detail. Hanya mengaku sebagai sekelompok orang Indonesia yang peduli terhadap negera ini.

'We are a group of Indonesians, ranting about our beloved country. This blog is a result of many people grumbling about many things in many ways.'

Sekarang telah ada ‘saudara kembar’ blog ini dalam bahasa. http://indonesia-anonymus.com. Tapi entah mengapa, versi Inggris lebih menarik bagi saya ketimbang versi bahasa. Padahal isi tulisan sama persis hanya bahasa yang berbeda.

Namun ini tetap merupakan hal yang positif. Ide-ide dan diskusi mereka dapat di akses dan di mengerti oleh pengunjung yang kesulitan berbahasa inggris sehingga cakupan kalangan pembaca lebih luas.

Ada satu artikel menarik. Tenang 'khayalan' mereka. Tentang ‘Barrack obama’ Indonesia. Apakah Indonesia sudah se-demokrasi Amerika berani memilih presiden-nya tanpa melihat latar belakang, etnis keturunan, asal daerah, agama. Apakah Indonesia berani memilih 'Barrack obama' yang cerdas, menarik, muda, dari kaum minoritas, namun memilki latar belakang yang ‘tidak umum’ dan berasal dari minoritas?

Berikut saya kutip khayalan mereka. Versi Indonesia bisa dilihat di sini.


Barack Obama has an African name. That name is not very common in the US and even Obama himself frequently refers to himself as a person 'with a funny name'.
So let's give our 'obama' a name that is not originally Indonesian. Let's call him Vincent Tjoa. (this is just an imaginary name. A mere example).


Barack Obama is a christian, while his father is a muslim. Christianity is the major religion in the US. So In Indonesia, this would make our Vincent a muslim (the majority), but with a christian father.

Vincent Tjoa, a muslim, mother from Solo, and christian father originally from Fujian, China. Picture it yet?

Let's build up our Vincent character some more using our imagination:
Just like Obama, our Vincent is young, patriotic and full of idealism. His life has not been easy. His father abandoned him when he was small and he was mostly raised by his grandparents in Solo, far from richness. Yet through his own perseverence he managed to graduate first from one of the top school in the country. (Let's say he graduated from ITB or UI).
Soon after he graduated, instead of taking a high-paying job in Jakarta, he chose to work in his community helping the poor.

He then went into politics, and became a member of parliament. He is new, with more idealism than experience, yet wildly popular. He has many supporters among young people, who are tired looking at Indonesia's same old corrupt politics. The young people think Vincent understands them. Understands their aspirations. Their ideals. They believe Vincent will be able to lead Indonesia to the better.

Two years later Vincent decided to run for the presidency.

He runs a grass root, efficient, discipline campaign, offering to bring change to Indonesian politics: He promised to end the divisive politics based on religion, race and ethnicity in Indonesia. "There is no javanese Indonesia. there is no chinese Indonesia, there is no muslim Indonesia, there is no christian Indonesia. There is only one Indonesia! Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity".

Vincent makes beautiful speeches. A great orator. He inspires. He has the ability to move people. Give them hope.
And to top it up, he has an incredibly structured, detailed plan on how to bring Indonesia to a brighter future. "Our prosperity is within reach", he said, "if only we can all work together. It is not about me, it is about you. About Indonesia."

His opponent is an old timer yet a very popular Indonesian politician. A native Indonesian, a devout muslim, a former Indonesian military man who has been in politics for a very long time and part of the political establishment. He is incredibly wealthy and his campaign is run by old faces of the establishment's political machine. Unfortunately, this is the same establishment that some Indonesian people view as the status quo: tolerating the corrupt culture and too slow to move the country forward.

Now, here's the question: Given the story above, will we, Indonesians, vote for our Vincent Tjoa to be Indonesia's next president ? Or will we vote for his opponent?

Can we get past his background, his christian father from Fujian province, his name, and his half chinese ethnicity, and vote for him?

Khayalan menarik bukan? Jadi apa pilihan anda??!!


Untuk Indonesia-anonymus, sukses dan terus menulis demi kemajuan bangsa.


Read more...

Thursday, November 20, 2008

Orang 'pintar' bekerja untuk orang 'bodoh'

Hal yang paling saya nikmati adalah saat berkumpul dengan tetangga setiap sabtu sehabis shalat magrib. Kebetulan mesjid tepat di depan rumah. Alhasil, halaman depan-pun kerap menjadi tempat berkumpul bapak-bapak menunggu adzan isya sembari bergosip.

Berbeda dengan gosip para wanita yang di dominasi isu selebritis, perselingkuhan, arisan, sampai harga sembako yang semakin mahal. Gosip kaum lelaki tidak jauh seputar olah raga, berita, politik, keadaan negara, sampai pada pembahasan tentang pergantian pengurus RT dan agenda acara ke-RT-an. Tidak jarang gosip berkembang menjadi rapat warga dadakan.

Entah bagaimana awalnya, saat obrolan sampai pada tema mahalnya pendidikan, seorang tetangga melemparkan pernyataan menarik.

Ah.. tak perlulah itu sekolah tinggi-tinggi. Menghabiskan biaya saja. Iya kalau setelah lulus bisa dapat kerja. Kalau tidak? Malah bikin malu”, kata seorang tetangga dengan logat Medan yang kental sembil mengibaskan tangan di depan wajah. “Sekolah tinggi-tinggi juga UUD. Ujung-ujungnya duit. Lulus, melamar sana melamar sini mengobral ijazah, jadi buruh, kuli, akhirnya kerja jugalah sama orang”, tambahnya.

Sekolah itu sebagai modal Bang. Dengan pendidikan kita bisa mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Hitung-hitung berinvestasi. Coba hitung. Kerja selama 5 tahun dengan ijazah SMA penghasilan mentok di 2 jutaan. Coba bandingkan bila melanjutkan kuliah. 5 tahun selesai. Begitu masuk kerja penghasilan langsung sama dengan yang 5 tahun kerja. Bahkan bisa lebih. Belum lagi jabatan yang lebih tinggi dan kemungkinan kenaikan gaji yang lebih besar. Hitung-hitung bersusah-sudah dahulu, bersenang-senang kemudian. Tak apalah berkorban sedikit waktu dan uang. Kalau hasil akhirnya lebih menguntungkan.”, jawab saya berusaha menjelaskan keuntungan melanjutkan kuliah. Atau lebih tepatnya, sebagai bentuk usaha membela diri. He..he..

Begini ni.. seperti ini nih isi otak anak muda zaman sekarang. Pantas saja kalau banyak sarjana pengangguran. Dalam otaknya yang namanya kerja itu hanya kerja di perusahaan. Jadi buruh yang menerima upah bulanan. Tak heran pula kalau begitu selesai kuliah para sarjana sibuk mencari info lowongan di koran, bursa kerja, internet. Berlomba-lomba mengirimkan lamaran sebanyak mungkin. Sementara jumlah lowongan tidak sebanding dengan jumlah lulusan baru. Pangangguran-pun membludak. Karena yang pikirnya kerja itu hanya kerja sama orang. Jadi kacung orang lain”, sambar tetangga medan saya itu. Bapak-bapak yang lain senyum-senyum sambil memperhatikan saya yang bingung berkata apa. Asem tenan..

Maka tak heranlah aku kalau banyak orang pintar yang justru bekerja pada orang bodoh. Coba lihat itu bos microsoft, Bill gates. Dia itu orang bodoh. Tidak tamat kuliah. Tapi banyak orang pintar yang bekerja sama dia. Tak usah jauh-jauh lah. Pemilik restoran yang di dekat kecamatan itu. Dia itu tidak pernah kuliah. Tapi salah seorang pekerjanya itu sarjana ekonomi. Orang pintar bekerja untuk orang bodoh”. Pintar juga tetangga medan saya ini. Dari mana juga dia tau Bill gates.., Microsoft.. Sial. Pikir saya.

Ahh.. jangan-jangan bos kau. Pemilik perusahaan tempat kau bekerja sekarang, dia juga tidak pernah kuliah. Kasian benar kau Yu, kerja jadi kuli-nya orang bodoh. Ha..ha..”. Tawanya yang langsung diikuti oleh tawa bapak-bapak yang lain.

Adzan isya berkumandang. “Selamat..”, pikir saya. Langsung saya masuk ke dalam mesjid diikuti para tetangga yang masih tertawa-tawa.

Setelah shalat isya, segera saya masuk ke dalam rumah menghindar pembiacaraan lanjutan. Tapi tetap saja obrolan tadi masih terus terpikirkan.

Betul juga. Selama ini banyak pengangguran karena definisi kerja hanya terbatas pada kerja di perusahaan. Kerja di instansi formal. Kerja sebagai buruh dengan upah bulanan. Padahal jika saja pikiran lebih terbuka. Lebih luas. Banyak yang bisa dilakukan oleh para pengangguran. Membuat usaha. Wiraswasta. Tidak tergantung pada lowongan pekerjaan.

Saya teringat pada tukang buah yang mengontrak di rumah. Dia tamatan SMA. Awalnya berjualan buah keliling dengan gerobak. Lalu menyewa kios di pinggir jalan raya tepat di depan sebuah pabrik tekstil. Sekarang dia sudah mampu kredit mobil pick up untuk membantu berjualan.

Mungkin beberapa tahun lagi dia mampu membeli dan memperbesar kios buahnya. Membuka cabang di tempat lain. Dan jika kiosnya semakin besar dan banyak. Perlu pembukuan dan administrasi yang tidak sederhana, dia mempekerjakan seorang sarjana untuk membantunya. Orang ‘pintar’ bekerja untuk orang ‘bodoh’. Panas kepala saya.

Read more...

Wednesday, November 19, 2008

Berbagai larutan buffer dan cara pembuatan

Bicara tentang analisa kimia, salah satu hal yang sedikit merepotkan bagi saya adalah buffer. Buffer atau larutan penyangga adalah larutan yang terdiri dari asam lemah dan garam-nya yang dapat mempertahankan dan menjaga pH. Bidang bioteknologi tidak bisa dipisahkan dari penggunaan larutan ini.

Kebutuhan buffer kadang menyulitkan karena hampir setiap analisa membutuhkan kondisi pH tertentu yang relatif stabil. Karena banyaknya macam dan jenis buffer, pemilihan buffer yang akan digunakan menjadi masalah tersendiri.

Dalam memilih buffer, yang harus diperhatikan adalah pH optimum serta sifat-sifat biologisnya. Banyak jenis buffer yang mempunyai impact terhadap sistem biologis, aktivitas enzim, substrate, atau kofaktor.

Sebagai contoh buffer phosphat akan menghambat aktivitas dari beberapa metabolik enzim termasuk karboksilase, fumarase, dan phosphoglucomutase. Barbiturate menghambat phophorilasi oksidatif. Tris buffer bereaksi dengan amin primer dan memodifikasi transport elektron dan phosphorilasi pada kloroplast. Tris juga menghambat enzim respirasi di mitokondria. Dan masih banyak efek lain yang diberikan buffer. Oleh karena itu pemilihan buffer terkadang menjadi kesulitan yang cukup merepotkan. Oleh karena itu, gunakan konsentrasi buffer serendah mungkin yang masih dapat untuk memaintain pH.

Berikut beberapa macam buffer yang kerap digunakan:


A. GLYCINE–HCL; PH 2.2–3.6, PKA = 2.35

Campur 25 ml 0.2 M glycine dan x ml HCl, kemudian encerkan hingga 100 ml dengan air suling.

x (ml)

pH

22.0

2.2

16.2

2.4

12.1

2.6

8.4

2.8

5.7

3.0

4.1

3.2

3.2

3.4

2.5

3.6


B. SODIUM ACETATE; PH 3.6–5.6, PKA = 4.76

Mencampurkan 0.1N acetic acid dan 0.1N sodium acetate untuk mencapai pH tertentu.

acetic acid

(ml)

sodium acetate (ml)

pH

185

15

3.6

176

24

3.8

164

36

4.0

147

53

4.2

126

74

4.4

102

98

4.6

80

120

4.8

59

141

5.0

42

158

5.2

29

171

5.4

19

181

5.6


C. BUFFERED SALINE (PBS, TBS, TNT, PBT)

Larutan buffer saline sering digunakan ketika melakukan eksperiment yang berhubungan dengan immunolocalization. Ada beberapa variasi dari buffer ini, tiga diantaranya sebagai berikut.

PBS 20x stock



TBS

Potassium chloride

4 g

53.6 mM

Potassium chloride 4 g

NaCl

160 g

274 mM

NaCl 160 g

Potassium phosphate monobasic

4 g

29.4 mM

Tris buffer (10 mM, pH 7.5) to 1 liter

Sodium phosphate dibasic (7•H2O) DI

43.2 g

17.5 mM to 1 liter

Use TBS when performing immunocytochemical




experiments on phosphate-sensitive tissues




(photosynthetic tissues typically)

TNT



PBT

NaCl

150 mM


PBS to vol

Tris buffer (100 mM, pH 7.5)

to 1 liter


Tween 20 1% (v/v)


D. CACODYLATE BUFFER; PH 5.0–7.4, PKA = 6.27

Sodium cacodylate buffer [Na(CH3)2 AsO2 • 3H2O] adalah alternatif dari Sørensen’s phosphate buffer. Mempunyai kapasitas buffer yang baik pada range pH 5.0–7.4. Cacodylate digunakan untuk aplikasi mikroskop elektron sebagai metode untuk menghindari penambahan phosphate saat sample preparasi. Mitochondria dan arganela lainnya dapat rusak jika terkena konsentrasi phosphate berlebih yang terdapat dalam Sørensen’s buffers.

Siapkan 0.2 M sodium cacodylate stock solution dalam air (4.28 g/100 ml). Tambahkan x ml 0.2 N HCL per 100 ml cacodylate stock solution, diikuti denga penambahan air demin sampai volume 400 ml hingga diperoleh 0.05 M cacodylate buffer pada pH yang diinginkan.

0.2 M HCl

pH

94.0

5.0

90.0

5.2

86.0

5.4

78.4

5.6

69.6

5.8

59.2

6.0

47.6

6.2

36.6

6.4

26.6

6.6

18.6

6.8

12.6

7.0

8.4

7.2

5.4

7.4


E. CITRATE BUFFER; PH 3.0–6.2, PKA = 6.40

Citrate buffer stock solutions: A: 0.1 M citric acid; B: 0.1 M sodium citrate. Campurkan kedua larutan dengan perbandingan volume dan encerkan dengan air sampai 100 ml untuk membuat pH yang diinginkan.

0.1 M citric acid

0.1 M sodium citrate

pH

46.5

3.5

3.0

43.7

6.3

3.2

40.0

10.0

3.4

37.0

13.0

3.6

35.0

15.0

3.8

33.0

17.0

4.0

31.5

18.5

4.2

28.0

22.0

4.4

25.5

24.5

4.6

23.0

27.0

4.8

20.5

29.5

5.0

18.0

32.0

5.2

16.0

34.0

5.4

13.7

36.3

5.6

11.8

38.2

5.8

9.5

41.5

6.0

7.2

42.8

6.2


F. SØRENSEN’S PHOSPHATE BUFFER; PH 5.8–8.0, PKA = 7.20

Campur sejumlah tertentu stock solution dan tambahkan air suling untuk mendapatkan 100 ml larutan Sørensen’s phosphate buffer 0.1 M. Ingat, konsentrasi phosphate yang tinnggi dapat bersifat toksik bagi sel tanaman.

Stock solutions:

A 0.2 M NaH2PO4
B
0.2 M Na2HPO4

A (ml)

B (ml)

pH

92.0

8.0

5.8

87.7

12.3

6.0

81.5

18.5

6.2

68.5

31.5

6.5

62.5

37.5

6.6

56.5

43.5

6.7

51.0

49.0

6.8

45.0

55.0

6.9

39.0

61.0

7.0

33.0

67.0

7.1

28.0

72.0

7.2

23.0

77.0

7.3

19.0

81.0

7.4

16.0

84.0

7.5

8.5

91.5

7.8

5.3

94.7

8.0


G. PHOSPHATE–CITRATE BUFFER; PH 2.2–8.0, PKA = 7.20/6.40

Untuk membuat 100 ml larutan buffer phosphat-citrate.

Stock solutions:

0.2 M dibasic sodium phosphate
0.1 M
citric acid

0.2 M Na2HPO4 (ml)

0.1 M citrate (ml)

pH

5.4

44.6

2.6

7.8

42.2

2.8

10.2

39.8

3.0

12.3

37.7

3.2

14.1

35.9

3.4

16.1

33.9

3.6

17.7

32.3

3.8

19.3

30.7

4.0

20.6

29.4

4.2

22.2

27.8

4.4

23.3

26.7

4.6

24.8

25.2

4.8

25.7

24.3

5.0

26.7

23.3

5.2

27.8

22.2

5.4

29.0

21.0

5.6

30.3

19.7

5.8

32.1

17.9

6.0

33.1

16.9

6.2

34.6

15.4

6.4

36.4

13.6

6.6

40.9

9.1

6.8

43.6

6.5

7.0


H. BARBITAL BUFFER; PH 6.8–9.2, PKA = 7.98

Untuk membuat 200 ml larutan buffer. Kedalam 50 ml Sodium barbital 0.2 M, tambahkan x ml 0.2 M HCl. Tambahkan air suling hingga volume 200 ml.

0.2 M HCl (x ml)

pH

1.5

9.2

2.5

9.0

4.0

8.8

6.0

8.6

9.0

8.4

12.7

8.2

17.5

8.0

22.5

7.8

27.5

7.6

32.5

7.4

39.0

7.2

43.0

7.0

45.0

6.8


I. TRIS BUFFERS


Solution

Preparation


Tris, 1 M stock

Tris base DI Dissolve and adjust pH with the following approximate amount of HCl: pH 7.4 pH 7.6 pH 8.0

121.1 g 800 ml;

70 ml, 60 ml, 42 ml

EDTA, 0.5 M

Disodium ethylene diamine tetraacetate Adjust pH to approx. 8.0 and stir until dissolved

186.1 g

SSC, 20x

NaCl NaCitrate DI Adjust pH to 7.0 with NaOH then add DI to 1 liter

175.3 g 88.2 g 800 ml

SSPE, 20x

NaCl NaH2PO4 • H2O EDTA DI Adjust pH to 7.4 with NaOH then add DI to 1 liter

174 g 27.6 g 7.4 g 800 ml

TE

Tris EDTA Adjust pH using Tris stock solution

10 mM 1 mM

STE (TNE)

Tris NaCl EDTA Adjust pH to 8.0 using Tris stock solution

10 mM 100 mM 1 mM

J. GLYCINE– NaOH BUFFER; PH 8.6–10.6, PKA = 9.78

Stock solutions:

0.2 M glycine
0.2 M NaOH

Campur 25 ml glycine stock solution dengan x ml 0.2 M NaOH dan encerkan dengan air suling hingga volume 100 ml.

x ml 0.2 M NaOH

pH

2.0

8.6

3.0

8.8

4.4

9.0

6.0

9.2

8.4

9.4

11.2

9.6

13.6

9.8

19.3

10.4

22.75

10.6


Demikian beberapa buffer yang bisa dijadikan pilihan untuk digunakan. Perlu diingat, bahwa larutan buffer hanya berfungsi untuk mempertahankan pH. Tidak berarti bahwa pH tidak akan berubah. Perubahan dan gangguan yang cukup besar dalam sistem dapat merubah pH meskipun telah ditambahkan buffer ke dalamnya.

Hal ini karena buffer hanya menjaga agar pH tidak terlalu berubah signifikan dengan adanya sedikit perubahan konsentrasi ion hidrogen dalam sistem.

Read more...