Thursday, October 16, 2008

Hari Pangan Sedunia; kaya makin kaya, miskin makin hancur..

Tahukah anda bahwa hari ini adalah Hari Pangan Sedunia (16 Oktober). Dan terkait dengan momentum ini, berikut tulisan yang saya rangkum dari tulisan Bapak Mufid A. Busyair, anggota Komisi IV (Pertanian, Kehutanan, Kelautan, Perikanan) DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. Saya mengedit dan menghilangkan beberapa bagian demi meringkas namun tanpa menghilangkan ide dasarnya. Tulisan lengkap dapat di baca di sini.

Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2008, diperingati dengan tema "World Food Security: The Challenges Climate Change and Bioenergy". Tema ini dipilih Food and Agriculture Organization (FAO) karena perubahan iklim membuat cuaca sulit diprediksi, sehingga pola tanam, estimasi produksi, dan persediaan pangan sulit diprediksi.

Dua abad lalu, ketika penduduk Bumi belum 1 miliar jiwa, Malthus pada 1798 mengingatkan bahwa planet kita tidak akan mampu memberi makan. Kini jumlah penduduk bumi 6,647 miliar.

Secara global, suplai pangan sebetulnya cukup memberi makan dua kali jumlah manusia saat ini. Namun, pangan yang melimpah tidak mengalir pada yang memerlukan, melainkan menuju mereka yang berduit. Alih-alih terjadi pemerataan kesejahteraan, dari waktu ke waktu dunia justru semakin sarat ketimpangan. Globalisasi sebagai model ekonomi yang mendominasi pengambilan kebijakan global sejak Perang Dunia II gagal menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan dunia yang merata. Tesis kaum strukturalis, Paul Baran cs, era-1970-an memperoleh pembenaran: ketergantungan negara berkembang yang kaya bahan mentah terjadi karena eksploitasi negara maju. Lewat lembaga WTO, IMF, dan Bank Dunia, eksploitasi itu jadi sempurna.

Maka, terjadilah ironi demi ironi. Misalnya, ketika banyak penduduk hidup dengan uang kurang dari US$ 1 per hari, peternak sapi di Uni Eropa menerima subsidi US$ 2 per hari per ekor sapi. Kita juga menyaksikan, tiap tahun negara-negara kaya mengguyurkan subsidi lebih US$ 300 miliar ke sektor pertaniannya. Sementara itu, bantuan negara-negara kaya ke negara-negara miskin nilainya kurang dari US$ 50 miliar (Eagleton, 2005). Padahal, apabila subsidi tersebut dialirkan ke negara-negara miskin, warga miskin akan tercukupi hak pangannya, bahkan mereka berpeluang mengakses pendidikan dan kesehatan secara memadai.

Indonesia bukan pengecualian. Dari tahun ke tahun ketimpangan ekonomi kian meningkat. Porsi pendapatan 40 persen penduduk paling bawah berkurang dari 20,9 persen (2002) menjadi hanya 19,2 persen (2005). Sebaliknya, 20 persen penduduk berpendapatan paling atas meningkat dari semula 44,7 persen menjadi 45,7 persen. Anggota puncak piramida itu salah satunya adalah Menteri Koordinator Kesra Aburizal Bakrie. Dengan nilai kekayaan mencapai US$ 5,4 miliar, Aburizal menjadi orang terkaya di Indonesia tahun 2007 versi majalah Forbes.

Dengan upah di bawah kebutuhan fisik minimum, kaum miskin, buruh pabrik, dan pekerja kasar di kota kian sulit memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini semua jadi pembenar bagi pemerintah untuk mematok harga pangan murah. Jika kemudian harga pembelian pemerintah (atas gabah dan beras) tidak dinaikkan, itu adalah resultante dari logika ini. Jadi, sesungguhnya para petani, nelayan, dan buruh menyubsidi industri dan orang kaya.

Apa sebenarnya yang terjadi? Kelaparan sejatinya bukan karena tidak ada pangan. Kelaparan terjadi karena soal distribusi dan akses. Sementara ada segelintir warga makan bermewah-mewah untuk memenuhi kebutuhan artifisial mereka, di sisi lain kita melihat ada warga yang mengais-ngais rezeki untuk memenuhi kebutuhan riil mereka dengan menjual makanan sisa hotel. Krisis finansial global saat ini bisa diambil hikmahnya. Selama ini kita terlalu boros dalam konsumsi (pangan dan energi). Krisis mengendurkan permintaan energi, sehingga tekanan konversi pangan untuk bahan bakar juga berkurang.

Bagi Indonesia, ini saatnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah memperkuat kembali pangan-pangan lokal. Negeri ini pernah punya tradisi pangan luar biasa ragam-jenisnya: gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Irian Jaya), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusatenggara), cantel/sorgum (Nusatenggara), serta talas dan ubi jalar (Papua). Pola makan unik, khas, dan beragam harus dihidupkan kembali. Lalu dibarengi penataan lumbung pangan, perlindungan lahan dari konversi, peningkatan produktivitas dengan introduksi teknologi, riset bibit unggul lokal, pengembangan teknologi pascapanen, dan perbaikan infrastruktur (irigasi dan jalan desa). Dengan cara itu, tiap-tiap daerah akan jadi lumbung pangan daerah, yang secara agregat akan memperkuat ketahanan pangan nasional.

No comments: