Friday, July 10, 2009

Bukti rakyat sudah cerdas..

Dimana-mana tema dan topik yang dibicarakan tak jauh dari seputar pemilu pilpres. Televisi, koran, blog.. semuanya membicarakan pilpres. Postingan saya terakhir-pun berkutat di tema itu.

Bagi yang rajin blogwalking pasti sudah jenuh overdosis membaca berita pilpres yang terserak di berbagai blog. Naah.. karena anda sudah sampai di sini, akan saya tambah kejenuhan saudara dengan tulisan berikut, masih dengan tema pilpres. Hihi..

Karena topik ini berat, sedangkan otak saya yang sempit ini tak mampu mengeluarkan wacana sedahsyat ini, khawatir pesan yang
mau disampaikan malah jadi bias, maka maafkan kalau hanya copas dari http://www.ahmadheryawan.com/.


PEMILIHAN PRESIDEN DAN POLITIK PRIMORDIAL
Friday, 10 July 2009 13:28
Oleh: Saiful Mujani

Politik primordial adalah politik yang tumbuh dan berkembang atas nama asal-usul sosial individu atau kelompok, seperti ras, suku, kedaerahan, agama, dan lain-lain. Semua orang punya asal-usul ini bukan karena pilihan, melainkan merupakan takdir hidup. Orang atau kelompok mengejar kekuasaan atas dasar kesamaan asal-usul atau secara sadar mengakui keberagaman asal-usul tersebut dan kemudian menghimpunnya menjadi kekuatan bersama. Bukan atas pertimbangan kemampuan, tanpa mempertimbangkan asalusul itu sebagai faktor utama (meritokratisme).

Dalam masyarakat kita, salah satu bentuk politik primordial adalah politik aliran: sikap dan perilaku politik yang tumbuh dan hidup dari keyakinan atau paham keagamaan. Diyakini bahwa dalam masyarakat kita ada dua aliran keagamaan (Islam) utama: santri dan abangan. Yang pertama dinilai taat menjalankan perintah agama Islam; yang kedua dinilai tidak atau kurang.
Politik elektoral

Pada 1950-an, kaum santri membangun dan mendukung partai-partai Islam, seperti Partai NU dan Masjumi; kaum abangan partai-partai “nasionalis”, seperti PNI dan PKI. Tema dikotomis “Islam” vs “nasionalis” mungkin kurang pas. Yang lebih pas mungkin “partai-partai sekuler” versus “partai-partai Islam”. Pada 1950-an, kekuatan partai Islam sekitar 43 persen di tengah- tengah penduduk yang hampir semuanya beragama Islam. Ini mengindikasikan bahwa, sejak awal politik kepartaian, umat Islam umumnya berorientasi politik sekuler. Setelah 44 tahun (pada Pemilu 1999), dukungan terhadap partai-partai Islam menurun menjadi sekitar 37 persen. Ini pun kalau PKB dan PAN dimasukkan dalam kelompok partai Islam. Dalam Pemilu 2004, kekuatan partai Islam tidak banyak berbeda dengan hasil Pemilu 1999. Tapi, pada Pemilu 2009, kekuatan partai Islam merosot cukup tajam, menjadi sekitar 26 persen.

Politik Islam/santri semakin menurun dalam 60 tahun perjalanan bangsa kalau dilihat dari perkembangan politik kepartaian. Politik aliran menjadi semakin tidak penting di tengah-tengah umat Islam yang kelihatan semakin taat menjalankan agamanya, di tengah-tengah jilbab dan baju koko.

Semakin tidak signifikannya politik santri ini terlihat lebih jelas dalam politik presidensial, yakni pilihan warga atas caloncalon presiden dalam pemilihan presiden. Pada pemilihan presiden 2004, ada dua calon yang biasa diidentifikasi sebagai calon santri, yakni Amien Rais dan Hamzah Haz. Dalam pemilu tersebut, Hamzah Haz mendapat suara sekitar 5 persen, dan Amien Rais sekitar 14 persen. Keduanya tersisih di putaran pertama. Yang masuk putaran kedua, SBY dan Megawati, biasa dianggap sebagai tokoh dari kaum abangan. Sekali lagi, politik Indonesia dikuasai oleh tokohtokoh abangan di tengah-tengah lautan jilbab dan baju koko.

Tapi, menjelang pemilu presiden 2009, sejumlah elite dan partai berusaha melawan arus politik elektoral Indonesia yang semakin menjauh dari konsep politik aliran tersebut. Amien Rais, misalnya, menjelang deklarasi calon presiden- wakil presiden SBY-Boediono, secara terangterangan menolak Boediono sebagai calon wakil presiden bagi SBY karena pilihan terhadap ekonom ini bertentangan dengan pakem klasik politik Indonesia. Memilih Boediono berarti mengabaikan aspirasi umat Islam dan representasi luar Jawa. Sejumlah elite PKS juga beretorika dengan bahasa yang sama. Dikatakan bahwa pemilihan Boediono sebagai calon wakil SBY tidak menampung aspirasi politik umat Islam.

Menjelang pemilu presiden

Tidak sedikit pula pengamat sosial-politik yang masih terpaku pada konsep politik aliran ini. Tiap calon presiden dan wakil presiden dipreteli asal-usulnya, bahkan anak-istrinya, apakah mencerminkan kombinasi aliran atau tidak. JK, misalnya, ditafsirkan lebih mewakili umat Islam karena lebih santri, pernah menjadi aktivis HMI, misalnya. Asal sukunya Bugis dan daerahnya wilayah timur Indonesia. Istrinya berasal dari wilayah barat Indonesia. Wakilnya, Wiranto, lebih mewakili kaum abangan dan etnis Jawa. Tapi istrinya dari daerah timur Indonesia (Gorontalo) dan mencerminkan kaum santri. Karena kombinasi- kombinasi seperti ini dalam pasangan JK-Wiranto, tim suksesnya menyebut pasangan ini “Pasangan Nusantara”.

Justifikasi bahwa perilaku keagamaan masyarakat sangat penting dalam menentukan pilihan, Wiranto secara eksplisit menyatakan bahwa istri pasangan JK-Wiranto ini berbeda dengan istri pasangan SBYBoediono, karena istri JK-Wiranto berjilbab, sedangkan istri SBY-Boediono tidak. Apa yang diharapkan dari ungkapan itu adalah menarik pemilih muslim, karena jilbab dinilai positif dan penting secara politik. Jilbab sebagai bahasa politik juga digunakan sebagian elite PKS ketika mereka melakukan bargaining untuk menolak Boediono sebagai calon wakil presiden bagi SBY.

Walaupun tidak bertumpu pada konsep aliran, pasangan Mega-Prabowo dinilai cukup mencerminkan keberagaman Nusantara. Keduanya dinilai abangan, tapi masingmasing berasal-usul dari suku bangsa dan daerah yang cukup beragam. Mega adalah seorang putri dari pasangan Jawa- Bali (ayahnya) dan Bengkulu (ibunya). Sedangkan Prabowo berasal dari seorang ayah Jawa dan ibu Manado, abangan dan Katolik. Jadi lebih mencerminkan keberagaman dibandingkan dengan pasangan SBY-Boediono.

Pasangan SBYBoediono dinilai sangat homogen dari sisi aliran politik, suku bangsa, dan kedaerahan. Keduanya dianggap berasal dari kaum abangan, etnis Jawa, dan daerah Jawa Timur. Bahkan Jawa Timur “pedalaman” atau “Majapahitan”. Pilihan SBY terhadap Boediono, menurut Amien Rais, bertentangan dengan pandangan yang sudah baku atau klasik tentang pembelahan politik Indonesia.

Indonesia. Amien dan politikus-politikus lain, serta para pengamat politik yang berkacamata politik primordial, mungkin benar bahwa pasangan SBY-Boediono mengabaikan pakem klasik politik Indonesia. Namun, validitas klaim tersebut tidak terlihat dalam politik kepartaian dan dalam pemilu presiden 2004.

Apa yang dianggap sebagai pakem klasik politik Indonesia mungkin sudah luntur; tak mampu lagi menangkap dinamika sosial-politik yang sedang terjadi di masyarakat kita. Sekularisasi politik sedang berlangsung dalam masyarakat. Pada 1950-an, sekularisasi ini belum sekuat sekarang meskipun mayoritas kekuatan politik di parlemen sekuler (PNI, PKI, PSI, dan sejumlah partai kecil lain). Sekularisasi pada 1950-an lebih ideologis, terutama karena pertarungan ideologi politik yang tajam dalam konteks Perang Dingin, terutama antara Islam dan PKI. Pengaruh pertentangan ideologi ini berakar kuat dalam masyarakat, di mana santri versus abangan sangat kuat, setidaknya kalau kita baca karya tahun-tahun itu.

Sekarang sekularisasi politik berlangsung dalam pengertian bahwa masyarakat membedakan kehidupan individual dan sosial dari kehidupan politik. Polarisasi politik kurang ideologis. Ideologi politik sudah mati. Sejak Orde Baru hingga sekarang kita tidak bisa membedakan ideologi partai-partai politik tersebut. Deideologisasi politik ini dipercepat oleh Orde Baru, yang pada dasarnya anti-ideologi dan antipolitik dalam arti tidak menoleransi kebebasan dan keberagaman kekuatan politik. Tapi, di sisi lain, Orde Baru mendorong pembangunan kehidupan keagamaan di tingkat individu, keluarga, dan organisasi sosial. Berhenti sampai di situ. Maka kesalehan individual berkembang dan terpisah dari kekuatan politik.

Tempaan Orde Baru ini membentuk sekularisasi politik sekarang. Kita melihat muslimah-muslimah seperti istri Wiranto atau JK yang berkerudung. Tapi partai mereka bukan PKS atau PPP, melainkan Hanura atau Golkar, yang bukan partai Islam; tidak banyak berbeda dengan Demokrat atau PDI Perjuangan. SBY-Boediono, yang dianggap kurang santri, justru didukung oleh partai-partai Islam (PKS, PPP, PKB, PAN, PBB, PBR, dan lain-lain). Pertimbangan politik murni, misalnya keyakinan akan peluang menang lebih besar, lebih dikedepankan.

Bila pemilu presiden 2009 dimenangi pasangan SBY-Boediono, politik aliran dan lebih luas lagi politik primordial akan menjadi semakin tidak penting. Polarisasi agama, etnik, dan wilayah tidak lagi menjadi basis sosial untuk kepemimpinan nasional. Mungkin ia telah digeser oleh wawasan baru tentang makna agama dan wawasan Nusantara. Saleh secara individual dan sosial, dan tetap menjaga semangat kedaerahan secara sosial, tapi lebih mengedepankan pertimbangan yang lebih inklusif, beyond primordialisme, adalah faktor-faktor dalam menentukan kepemimpinan nasional. Memilih SBY-Boediono mungkin bukan karena sentimen kejawaan atau kejawen menguat, melainkan mungkin karena persepsi pemilih bahwa pasangan ini lebih baik untuk memimpin Indonesia menurut meritokratisme. Apakah akan begitu pemilih kita pada pemilu presiden 2009? Kita lihat.

5 comments:

~noe~ said...

wah sakjane aku mau nulis yang kaya gini pas pengumuman resmi pasangan capres cawapres. cuma ilmu dan otakku tidak mampu.
intinya tentang siapa yang lebih nasionalis dan lebih terbuka wawasan kebangsaannya.
mereka yang menganggap pasangan sby sebagai pasangan primordial dan tidak menghargai kebhinnekaan,
atau mereka yang tidak mempermasalahkan pasangan sby-boediono terkait latar belakang suku yang sama meskipun ratusan suku bangsa mengelilinginya.
draftnya sudah jadi tapi wagu banget...

eoin said...

sebenarnya dikotomi santri dan abangan itu sekarang masih dipertanyakan, namun kuakui memang mudah sebagai difinisi kecenderungan beraga orang indonesia.. :)

adapun masalah primodialisme mmmm.. gimana ya?? kalo aku sih sebenarnya care banget ama orientasi adat istiada dan budaya calon pres indonesia...

aku hanya bertanya-tanya, sedalam itukah rakyat indonesia menyeldiki siapa calon presiden yang dipilihnya.. kurasa hanya sebagian kecil saja yang mempunyai perhatian sedalam kita.. jeeee kita?? :) auk ah.. bingung... pilihanku kalah seh heuhwuahueha :P tapi aku sih gak sakit ati.. gak segitu gitunya juga.. :)

baburinix said...

yang penting dapur bisa baburinix dan bakukus

guskar said...

rakyat yg cerdas memilih capres-cawapres yang titelnya mencerminkan kecerdasan : doktor dan profesor. klop sudah!

wahyu said...

@Noe: hmm.. jika saja tulisan sampeyan sudah di publish lebih dulu dari tulisan Saiful Mujani ini, mungkin saja karya sampeyan yang saya copas. :)
@eoin: kalo saat ini, mungkin hanya sebagian kecil yang concern masalah primordialisme ini. rakyat sudah lebih pragmatis dalam masalah politik. hal2 tentang asal suku, militer non militer, jawa non jawa.. sudah tidak lagi dilihat sebagi parameter yang menentukan pilihan mereka. sekarang siapa yang dianggap mampu memperbaiki nasib mereka, siapa yang lebih menguntungkan bagi mereka, dialah yang akan dipilih. Bahkan saran dari tokoh dan elite (misal; elite NU, Muhammadiyah, MUI, petinggi partai) tidak berpengaruh terhadap pilihan rakyat.
@baburinix: Thanks dah mampir, salam buat kalsel
@guskar: haha.. bila dilihat dari pendidikan formal ya om..