Tuesday, March 11, 2008

Pilkades dan money politic..

Bangsa kita saat ini sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, konco-isme, suap-isme, sogok-isme, calo-isme dan semua perbuatan yang menyebabkan kerugian negara dan masyarakat. Usaha untuk mengarahkan proses pemerintahan ke arah ’good governance’ terus digulirkan. Banyak pejabat yang ditangkap dan dihukum guna memberikan efek jera agar yang lain berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan melanggar hukum. Para pemimpin/pejabat di kalangan eksekutif dan legislatif terus di ‘tekan’, di ’teror’ dan di ’awasi’ oleh KPK dan masyarakat. Tampaknya perlahan tapi pasti, sudah banyak kemajuan yang diperoleh, semua berada di jalur yang benar dan sudah mengarah ke perbaikan. Tapi benarkah....

Ternyataaaa...

Jalan masih sangat panjang. Kemaren saya tersadarkan, justru di dekat, di tengah masyarakat sendiri, di pemerintahan tingkat bawah, kegiatan kolusi sudah sangat biasa dan umum terjadi. Rakyat sendiri seakan tutup mata dengan hal ini. Hal yang sudah terlanjur umum dan biasa tampaknya dianggap lumrah dan wajar.

Hari Minggu kemarin tanggal 9 Maret 2008, di desa saya, berlangsung pemilihan kepala desa (Pilkades). Ada empat calon yang semua-muanya sama sekali tidak saya kenal.
Saya bahkan baru mengetahui nama masing-masing calon setelah datang ke tempat pemilihan suara pada hari pencoblosan. Saya betul-betul tidak tahu dan bingung harus memilih siapa. Karena jangankan memilih, wong kenal saja baru beberapa menit menjelang saya mencoblos. Itupun hanya dari kertas selebaran yang ditempel di dekat panggung pemilihan.

Sebenarnya bukan itu yang menjadi ganjalan dan masalah. Mungkin saya tidak kenal calon Kades karena saya sendiri yang kurang peduli dan tidak aktif di masyarakat. Maklum, pagi buta sudah harus pergi dan pulang saat hari gelap. Tidak sempat bertemu dengan tetangga. Informasi seputar desa-pun sangat tidak up to date.

Tapi satu hal yang mengganggu, yaitu, malam harinya sebelum hari pencoblosan mendadak banyak tamu yang berkunjung. Mereka mengaku dari tim sukses masing-masing calon yang katanya akan melakukan pendataan. Singkat cerita, setelah bertanya layaknya petugas sensus, tamu ini memberikan amplop (tak usah ditanyalah isinya apa, yang jelas bukan kue cucur..) beserta wejangan-wejangan yang intinya diminta (dengan sangat) untuk memilih calon nomor sekian. Setelah lelah mempromosikan ’dagangannya’, merekapun pamit.

Tak berapa lama kemudian datang lagi tamu dari calon yang lain dengan maksud yang sama. Jadi saya dapat dua amplop berisi masing-masing Rp 30 ribu dari calon nomor satu dan nomor dua. Saya sempat bingung mesti saya terima atau tidak pemberian mereka. Walau tidak dikatakan secara tegas, tapi jelas maksud mereka memberi ’amplop’ adalah agar saya memilih calon yang bersangkutan. Setelah lama terdiam, akhirnya saya putuskan untuk menerima. Toh saya ingat ada ulama yang mengatakan ” terima uangnya, tapi jangan pilih orangnya”. Hi.hi.. saran yang baik..

Dan tinggallah saya sendiri sambil memegang amplop berisi Rp 60 ribu. Rejeki jatuh dari langit. Tiba-tiba ada di genggaman tangan. Coba tiap hari ada pemilihan Kepala Desa macam begini. Bisa pensiun dini saya..

Esoknya, penasaran tanya sana-sini, ternyata tidak hanya saya, semua tetangga mengalami hal yang sama. Saya bertekad saat hari pencoblosan tidak akan memilih calon yang telah memberi saya ’amplop’.

Ini termasuk money politik. Bagaimana jadinya bila si pelaku terpilih menjadi pemimpin. Hal pertama yang dilakukannya adalah berusaha agar ’modal’nya kembali. Bukan bagaimana caranya memajukan dan mensejahterakan warganya. Dia tidak merasa mempunyai kewajiban untuk itu, karena dia beranggapan warga memilihnya karena dia ’membeli’ suara mereka. Toh mereka sudah saya bayar, jadi tidak ada kewajiban bagi saya untuk memenuhi kepercayaan dan amanat warga, begitu pikirnya. Oleh karena itu saya memilih calon nomor tiga, yang saya anggap orang jujur, orang baik, tidak menggunakan cara kotor bermain money politik.

Perang terhadap kejahatan macam begini seakan hanya gencar dilakukan di tingkat pusat pemerintahan saja. Sedangkan di tingkat bawah, seperti desa, hal ini kurang mendapat porsi. KPK tampaknya hanya sibuk mengawasi kasus-kasus menengah ke atas yang melibatkan para pejabat tinggi. Sementara pejabat-pejabat 'kecil pinggiran' relatif kurang diperhatikan. Padahal tingkat bawah ini yang justru menjadi dasar perubahan karena bersinggungan langsung dengan masyarakat. Anehnya warga sendiri seakan menerima begitu saja kejadian ini, dan tidak melaporkan kepada yang berwenang. Termasuk saya..

Maka sayapun memilih calon nomor tiga meski tidak kenal. Saya baru tahu setelah masuk ke dalam ruang pemilihan dan menerima kertas suara. Lucunya, sekarang saya sudah lupa nama calon yang saya pilih. Biarlah.. yang penting dia tidak berbuat curang dengan membagi-bagikan uang agar warga memilihnya, pikir saya.

Kembali dari TPS saya bertemu teman tetangga satu RT. Dan dia bercerita bahwa dia mendapat ’amplop’ dari semua calon.

Waaa....Semua calon..

Saya terkejut!! Berarti calon nomor tiga yang saya pilihpun ikut-ikutan bermain kotor.

Saya pun menyesal dan sedikit sebal. Menyesal karena saya telah memilih calon nomor tiga yang ternyata sama saja dengan yang lain. Sebal karena saya hanya mendapat uang dari dua calon, sedangkan yang lain dari semua calon. Kalau rata-rata Rp 30 ribu dari satu calon, berarti mereka mendapat Rp 120 ribu, sedangkan saya hanya Rp 60 ribu..

:(

Saya tertipuuuu....!!!!!!!!

No comments: