Tuesday, March 24, 2009

Bisnis Rumah Sakit


Ketika sedang mengantri di kantor pos Jakarta kota untuk mengirimkan laporan tahunan pajak (entah kenapa koq ya banyak yang mengirimkan laporan pajaknya pada hari itu, padahalkan saya sengaja baru mengurus laporan pajak mendekati batas akhir waktu yang ditentukan supaya tidak antri seperti ini), tidak sengaja saya terpaksa mendengar obrolan dua orang wanita yang duduk dibelakang.

Awalnya saya sama sekali tidak tertarik pada pembicaraan mereka karena saat itu sedang berusaha keras untuk tidak melirik (memandangi) kumpulan gadis kantoran yang berdiri mengantri didepan loket. Sebagian diri ini merasa bersalah, sebagian lagi malah sumringah. Dan yang terakhir tampaknya lebih dominan. Ini kesempatan, tidak tiap hari bisa mendapatkan sajian seperti ini. Mumpung tersedia free di depan mata, nikmati saja. Tak usahlah banyak pertimbangan. Ah.. bisikan itu jelas memenuhi isi kepala. Tapi.. obrolan dua wanita dibelakang kembali menarik perhatian saya.

‘Jadi.. si Anto nerusin ke mana Bu?’, terdengar wanita pertama memulai pembicaraan. ‘Maunya sih ke Farmasi, tapi aku pikir tanggung. Mending langsung saja ke kedokteran. Dokterkan masa depannya bagus.. Sekarang dia lagi siap-siap ujian masuk ke UI’, Wanita kedua terdengar menjawab bangga.

‘Kedokteran ujian masuknya susah lho bu, lagian mahal’.

'Gakpapa mbak. Wajarlah kalo mahal. Kan kalo udah lulus duitnya juga cepet. Profesi yang paling menghasilkan sekarang dokter lho mbak. Gak kenal krisis..’, jawabnya. ‘Kalo masalah biaya sih udah disiapin. Ntar kalo kurang yah kita paksain minjem di bank. Itung-itung investasi kalo bapaknya anak2 bilang. Ntar kalo dah jadi dokterkan bisa impas..’. Sambungnya lagi.

Sampai sini pikiran saya melayang. Teringat dua minggu yang lalu ketika harus membayar 250 ribu untuk sekali suntik dan beberapa tablet obat antibiotik karena demam dan batuk yang tak kunjung reda. Tetangga saya habis 2,5 jt untuk dua hari menginap di RS. Yah.. betul memang biaya kesehatan itu mahal. Setuju saya dengan ucapan Ibu tadi bahwa dokter saat ini menjadi profesi yang paling menghasilkan. Jauh dibanding dengan apoteker, insinyur, apalagi chemist. Padahal lama study hampir sama. Haha.. sedikit menyesal kenapa dulu ndak kuliah di kedokteran saja..

Rumah sakit saat ini berlomba-lomba meningkatkan kenyamanan. Mereka sepertinya tidak mau kalah dengan hotel berbintang. Kamar AC, TV, DVD/VCD player, kulkas, line telephon, mini bar, sofa, meja makan, pemandian air panas, karaoke, bahkan fasilitas futsal dan kolam renang-pun ada. Tidak heran kalau tarif satu hari lebih dari 1,5 juta rupiah. Mereka menggunakan alasan itu untuk mematok tarif selangit. Tarif yang mustahil dijangkau kebanyakan rakyat kita.

Tapi apa iya sekarang ini motivasi untuk menjadi dokter hanya berhenti pada motif ekonomi dan profit semata. Pertimbangan masuk ke fakultas kedokteran hanya karena hitung-hitungan materi. Karena profesi dokter lebih menjanjikan dan lebih basah dari pada profesi lainnya. Entah kemana tujuan mulia menolong sesama manusia, apakah mereka lupa pada sumpah hippokrates yang pernah diucapkannya?

Tiba-tiba diri ini dilempar kembali pada percakapan dengan ibu teman saya sewaktu kuliah dulu.

‘Nak Wahyu, Ibu setiap hari berdoa agar keluarga kami dimudahkan rejekinya, tapi Ibu suka merasa nggak enak.. Ibu bingung.. Kalau Ibu minta dilancarkan rejekinya, berarti Ibu minta banyak pasien yang datang ke Bapak. Itukan sama saja berdoa supaya banyak orang yang sakit dan kena musibah..’. Ck..ck... Salut saya dengan rasa empati beliau.

Mungkin betul zaman berubah. Saat ini materi diatas segala-galanya. Tidak seperti dulu ketika para dokter betul-betul karena panggilan perikemanusiaan. Sekarang dokter dijadikan bisnis. Penderitaan orang lain dieksploitasi dan dimanfaatkan. Rumah sakit berubah menjadi ladang mengumpulkan harta. Menjadi institusi yang mengedepankan profit dan keuntungan.

Rumah sakit saat ini menjadi pilihan usaha yang lebih menggiurkan ketimbang apartemen dan usaha properti lainnya. Pasien yang memang butuh kesembuhan dan ingin terbebas dari penderitaan terpaksa ikut aturan mereka tanpa bisa berbuat apa. Bahkan sampai rela hilang harga diri pontang-panting mencari surat keterangan miskin dari desa agar mendapat secuil keringanan dari rumah sakit, institusi bernaung para dokter yang terhormat. Kalau melihat ini wajar bila fenomena Ponari bisa terjadi.

Cekikikan gadis kantoran yang berjalan pergi menyadarkan saya. Terlihat petugas loket sebelah yang baru kembali dari makan siangnya membuka loket dan mengambil papan bertuliskan ‘istirahat’ yang terletak di atas meja. Dengan cepat saya meluncur berpindah ke sana. Seraya menyerahkan amplop berisi laporan pajak saya bertanya, ‘sudah selesai pak makan siangnya?’.


‘Hmmm...’, jawab bapak petugas loket tanpa senyum.

Sekedar info, berbeda dengan di kita, Rumah sakit di Amerika sana adalah nama sebuah band beraliran rock instrumental asal California. Nama band yang aneh...


5 comments:

Anonymous said...

Memang kalau bisa kita jaga kesehatan agar nggak berurusan dengan yang namanya dokter

Anonymous said...

semoga sukses
byme

Anonymous said...

duh, makin repot kalau rumah sakit yang seharusnya mengedepankan pelayanan publik buat kemanusiaan malah ditarik ke ranah bisnis, bisa jadi makin mahal nih biaya ke rumah sakit.

EKO RAHARJO said...

Pelayanan pelanggan telah menjadi gaya hidup dalam setiap aktifitas pelayan di rumah sakit. Untuk itu dibutuhkan keahlian dan ketrampilan dalam menjalankan aktifitas tersebut dengan cermat, memuaskan dan menguntungkan.
Info Pelatihan Pelayanan Prima
Hotel Solo Inn Surakarta, 7 Mei 2009
09.00-15.00 wib
Info lengkap (materi dll) silahkan kunjungi http://www.forumkuliah.wordpress.com
atau hub 081548341129 (eko)

Aris said...

betul mas, beberapa waktu lalu saya juga kecewa dengan pelayanan seorang dokter di RS harapan Bunda Banda Aceh. menyebalkan emang.....