Sunday, June 22, 2008

Pencuri Waktu

Langkah kakiku terasa berat dalam terik panas hari ini. Rumahku memang cukup jauh dari jalan raya utama. Sengaja kupilih yang letaknya lebih ke dalam agar lebih tenang selain karena faktor harga yang juga menjadi pertimbangan. Aku tinggal di sebuah perumahan di pinggir kota. Dan alasan ketenangan jugalah yang menyebabkan ku pilih perumahan ini, dengan harapan jauh dari keramaian.

Di permukaan jalan aspal di depan terlihat bayang-bayang fatamorgana. Masih kuingat penjelasan guru fisikaku, fatamorgana di sebabkan karena temperatur udara tepat di atas permukaan jalan lebih tinggi dari pada temperatur udara sekitar, hal ini menyebabkan perbedaan tekanan udara antara keduanya sehingga terciptalah fatamorgana. Seperti sebuah sungai bayangan berikut kesegarannya. Dan ini jugalah yang menyebabkan para musafir gurun pasir dahulu tertipu dan di kecewakan. Tapi sesungguhnya ini juga dapat menjadi penyemangat dalam keputusasaan akan menemukan setetes air penghilang kehausan. Sering juga harapan yang hilang kembali bersinar dan tenaga pun segera datang untuk kembali meneruskan perjalanan. Walau harapan seakan bayang yang tak pernah sampai, namun kadangkala dia memberi semangat yang luar biasa untuk tetap terus berjuang.

Setiap pagi pada hari Minggu seperti ini kupergunakan untuk mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Sebetulnya ini hanya untuk mengisi dan memanfaatkan waktu luang saja. Sejak kecil aku di didik untuk selalu dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Ayahku selalu memberi nasehat yang berulang-ulang, bahwa waktu sangat berharga, sekali kau berlalu dengan kesia-siaan, dia tidak akan kembali lagi dan terulang. Dan di kantor, atasanku sering berujar bahwa waktu adalah uang. Maka jadilah aku demikian, selalu memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Bukankah orang-orang yang berhasil adalah mereka yang disiplin tehadap waktu, mereka yang menghargai waktu. Maka dalam kesibukan rutinitas kerjaku, masih ku sempatkan waktu liburku ku isi dengan kegiatan yang kuanggap berguna.

Di kejauhan di bawah sebuah pohon mangga tepat di depan seberang rumahku, terlihat seorang tua duduk santai sambil bersiul-siul riang. Dia duduk bersandar pada batang pohon sambil melihat dan mengamati rumah di depannya. Umurnya kira-kira hampir tiga kali umurku. Di sampingnya terdapat sebuah karung yang entah berisi apa. Dia mengenakan pakaian berwarna abu-abu yang sepertinya bukan berasal dari zaman ini, mungkin dari zaman pertengahan. Pakaiannya yang berupa terusan dari atas ke bawah hingga ke mata kaki layaknya jubah itu terlihat lusuh, namun terawat bersih. Memang aneh, namun entah kenapa semuanya terlihat biasa hingga keanehan yang ada pun terpinggirkan dan hilang dalam kenormalan.

Begitu tiba di depan rumah dan sudah tentu juga di depannya, dia bangkit berdiri, lalu menghampiriku dengan karung di punggungnya. ”Ini rumahmu?” tanyanya ramah. Aku diam ragu harus menjawab apa, matanya terus menatapku menunggu jawaban. ”Ya”, akhirnya kujawab singkat. ”Ini rumahmu dari hasil kerjamu sendiri?”, tanyanya lagi yang membuatku sedikit heran. Didorong rasa penasaran dan kecurigaan yang semakin nyata aku balik bertanya, ”Kenapa kau bertanya seperti itu..? dan apa gerangan isi karung yang kau bawa?”, entah kenapa tiba-tiba saja aku tertarik pada karung di punggungnya.

Dia diam, seolah merasa enggan untuk menjawab. Tangan kirinya yang bebas bergerak-gerak mengusap janggut yang telah memutih di bawah dagunya, keningnya berkerut layaknya sedang berpikir. ”Kenapa kau tak menjawab, apakah isi karung itu merupakan sesuatu yang bukan hakmu, sehingga kau takut orang lain mengetahui untuk kemudian melaporkan dan menangkapmu?”, tanyaku mencoba menekan dan memojokkannya. Tiba-tiba saja wajahnya berubah, seuntai senyum di sudut bibirnya, ada sedikit sinar memancar dari matanya. ”Baiklah..”, ujarnya rendah, ”Karung ini berisi waktu. Waktu yang amat berharga. Karung ini berisi detik, menit, hari, bulan, bahkan tahun. Ku curi dari para manusia yang tidak dapat menjaganya. Dari para petani, pengusaha, cendikia, para pangeran, raja dan semua manusia yang terlena dan lupa. Ya.. aku adalah sang pencuri waktu”, dia berhenti sebentar, lalu menambahkan. ”Tapi aku tidak merampas dan memaksa. Mereka menyerahkan dengan sukarela dan kadangkala juga tanpa merasa. Mereka menyerahkan begitu saja tanpa merasa rugi, mereka anggap semuanya tidak berharga dan tidak pernah merasa kehilangan sesuatu yang sangat berarti. Bukan saja dari manusia bodoh yang tidak tahu akan kebodohannya, namun aku juga mencuri dari manusia yang sudah tahu namun lalai dalam menjaganya. Karena aku adalah sang pencuri waktu.”

Aneh dan ganjil pikirku, namun menarik..”Bolehkah aku melihat isi karungmu Pak Tua?”, tanyaku kemudian. Dia berdiri diam, mungkin masih menimbang-nimbang. ”Aku hanya ingin melihat sebentar saja, hanya untuk memastikan apakah betul ucapanmu”, tambahku mencoba meyakinkan. Sengaja aku bertanya dengan nada yang meragukan ucapannya agar dia terpancing dan mau menunjukkan isi karung miliknya. Dan dia bergerak. Sambil sedikit membungkuk di turunkan karung tersebut, diletakkan di depannya, antara aku dan dia. Dengan gerakan perlahan karungpun di buka, segera aku melongok ke dalamnya. Betul saja. Waktu..! Kulihat di dalam karung tumpukan waktu yang amat banyak. Dari detik, menit, jam, hari, bulan, tahun bahkan abad. Teramat banyak, hingga apabila aku memintanya atau membelinya sedikit saja, cukup beberapa menit, dia tidak akan merasa kehilangan.

Melihat begitu banyak waktu dalam karung miliknya, sepertinya sudah sangat lama dia mulai mencuri waktu para manusia. Bahkan bukan tidak mungkin dia sudah mulai mencuri waktu dari para manusia pertama yang diciptakan. Kembali ku teringat perkataan ayah bahwa waktu itu sangat berharga. Bahkan lebih berharga daripada harta seberapapun banyaknya. Di dalam waktu ada kesempatan, mereka seperti dua saudara kembar yang saling berdampingan. Jika menyia-nyiakan waktu, berarti membuang kesempatan. Dan sebuah kesempatan lebih berharga dari seribu usaha sebenar-benarnya. Kesempatan hanya datang satu kali, karena waktu tidak mungkin terulang lagi. Terngiang-ngiang perkataan ayah dalam telingaku. Begitu jelas, begitu dekat, seolah datang dari bisikan hatiku sendiri.

Tiba-tiba saja aku merasa ini adalah kesempatan untukku. Jika benar apa yang di katakannya, maka aku dapat meminta sedikit waktu darinya. Kalau perlu aku ingin membelinya. Ya.. aku dapat menambah sedikit waktuku. Tidak perlu berlebih, hanya sedikit. Dan itu cukup untuk mengganti waktuku yang dulu pernah terbuang percuma. Aku hanya perlu beberapa menit, atau beberapa detik untuk mengulang waktu dan kesempatan yang dulu pernah lewat sia-sia. Dan dengan itu, aku akan dapat merubah semuanya, aku dapat mengatur kembali masa depan dan jalan hidupku. Hanya perlu beberapa detik dari orang ini, dan itu cukup. Tiba-tiba aku menjadi begitu bersemangat, ada desir kegembiraan mengalir menjalar dalam dadaku, dan senyum mengembang dalam kalbu.

”Bolehkah aku meminta sedikit saja waktu Pak Tua?”, tanyaku lebih lanjut. Dijawabnya dengan gelengan kepala. ”Hanya beberapa menit.. atau detik..”, ratapku sedikit memohon. Kembali dia menggelengkan kepala sambil tersenyum. Diangkatnya karung dan mulai berbalik hendak melangkah pergi. ”Akan ku tukar dengan segenggam emas..!”, seruku mencoba menarik perhatiannya. ”Dan rumahku.. rumahku ini beserta isinya akan menjadi milikmu jika kau mau memberiku sedikit saja waktu, sedikit saja, hanya beberapa detik..”. Dan aku tahu, sebuah rumah beserta isinya masih dapat ku peroleh lagi. Jika aku berhasil mendapatkan sedikit waktu dari orang tua ini, maka akan kuperoleh kesempatan yang dulu pernah hilang. Dan jangankan rumah, sebuah istanapun dapat aku miliki dengan mudah. Orang tua itu berbalik, dengan wajah yang sungguh-sungguh dia berkata, ”Waktu ini sangat berharga anakku, lebih berharga dari emas dan rumah milikmu. Bahkan jika seandainya saja seluruh emas dan mutiara yang ada di muka bumi ini di berikan padaku untuk di tukarkan dengan waktuku, aku tidak akan memberikannya walau sedetik”.

Dan orang tua itu pun pergi. Dia melangkah meninggalkanku dengan karung di punggung dan satu senyuman. Setelah sosoknya hilang di balik tikungan jalan, barulah aku sadar, ternyata waktuku telah dicurinya..

2 comments:

Anonymous said...

Hebaatt..!!
Saya suka membaca karya yg tersirat spt ini..
Sukses selalu dlm berkarya..

Salam kenal,
classically

wahyu said...

Terima kasih.
Senang rasanya kalau ada yang meng-apresiasi.

Salam kenal juga..