'Life will find a way..'
Banyak anak banyak rejeki. Demikianlah pameo yang dipercaya masyarakat jawa. Dahulu tingkat kematian bayi saat proses melahirkan masih tinggi. Bayi yang bertahan hidup-pun masih belum sepenuhnya aman dari kematian masa kanak-kanak karena kesehatan yang belum semaju seperti sekarang. Oleh karena itu para orang tua waktu itu berlomba-lomba membuat banyak anak sebagai serep dan usaha ‘menaklukkan alam’. Jikalau satu harus meninggal, toh masih ada yang lain. Masih ada cadangan. Malah tak jarang dari sepuluh anak, yang mampu bertahan hidup hingga dewasa kurang dari setengahnya.
Sekarang pemahaman diatas sudah berubah. Banyak anak tak lagi banyak rejeki, justru sebaliknya, banyak pengeluaran. Banyak kesulitan. Pemerintah bersama masyarakat secara sadar sudah membatasi jumlah anak guna meningkatkan taraf hidup dan yang terpenting guna mengontrol laju populasi. Salah satu masalah utama manusia adalah laju populasi yang terus membengkak sementara bahan makanan semakin terbatas. Dikhawatirkan suatu saat nanti bahan makanan di bumi ini sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan manusia.
Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri kesadaran perlunya upaya mengontrol laju populasi sudah lama berkembang. Sejak tahun 1979, Pemerintah China memberlakukan kebijakan satu anak dalam keluarga di perkotaan. Untuk keluarga di pedesaan dan suku-suku minoritas, mereka diperbolehkan memiliki anak lebih dari satu. Keluarga yang mengabaikan kebijakan satu anak harus membayar denda tinggi, bahkan terkadang mengalami diskriminasi di tempat kerja.
Namun ternyata semua usaha tersebut tidak begitu berhasil. Seperti semua usaha rekayasa terhadap kehidupan, alam pasti tidak akan tinggal diam dan bereaksi guna mencapai keseimbangan. Seperti perkataan Dr Malcolm dalam Jurassic Park, ‘Life will find a way..’
Setelah berjalan, kebijakan itu menimbulkan masalah baru. Proporsi penduduk usia tua dengan usia produktif tidak seimbang. Hal itu juga menimbulkan ketidakseimbangan jender karena secara tradisi anak lelaki lebih disukai sehingga janin anak perempuan kadang dikorbankan. Karena hanya diberi jatah memiliki satu orang anak, maka para orang tua sangat memilih membesarkan anak terbaik. Akibatnya janin perempuan tidak mendapat tempat. Mereka disia-siakan. Tingkat aborsi pun meningkat. Para orang tua lebih memilih menunggu mendapatkan janin laki-laki.
Masalah lain, anak tunggal dalam keluarga cenderung egois dan manja. Banyak anak dijuluki ”Kaisar Kecil”. Selain itu, pendidikan anak dalam keluargapun tidak sehat. Tumbuh jadi anak tunggal juga tak selalu mudah. Banyak orangtua yang menginginkan anak mereka hebat dalam segala hal. Maka, anak satu-satunya harapan keluarga itu harus mengikuti seabrek kegiatan dan tekanan. Orangtua cenderung berharap terlalu tinggi kepada anak semata wayangnya.
Belakangan ini, kebijakan satu anak itu tampaknya akan dikendurkan. Pemerintah malahan mendorong pasangan orangtua agar memiliki anak kedua. Hal itu sebenarnya sejalan dengan harapan para perempuan di China yang menginginkan anak lebih dari satu. China Daily menyatakan, 70,7 persen perempuan China menginginkan anak lebih dari satu, 83 persen menginginkan seorang anak perempuan dan seorang anak lelaki.
Pemerintah Kota Shanghai sangat mendukung kebijakan dua anak. Kota itu memiliki penduduk paling padat di dataran China, 20 juta jiwa. Sebanyak 3 juta di antaranya berusia 60 tahun, sekitar 22 persen dari populasi. Tahun 2020, pangsa itu akan naik jadi 34 persen.
Kebijakan satu anak ini sudah menuai banyak kontroversi baik di dalam maupun di luar negeri karena penegakannya menggunakan kekerasan, seperti aborsi dan kekerasan lain.
Walaupun ada pelonggaran aturan, China tetap bertekad mencapai target menjaga jumlah penduduknya sebanyak 1,36 miliar tahun depan.
Artikel terkait: Kompas, Sabtu 25 juli 2009