Rasionalitas dan Agama
Setelah mengunjungi beberapa blog yang membicarakan hal-hal yang berat, tergelitiklah saya untuk ikut menyelipkan tema tersebut dalam blog ini. Saya tertarik karena setelah mampir, ada saya rasakan sedikit pencerahan dan pemahaman. Saya merasa mata saya yang agak jereng ini sedikit terbuka dan lebih jelas dalam melihat hidup, secara sosial, moral, dan juga ketuhanan. Tentunya terbukanya sedikit mata ini belumlah cukup untuk melihat seluruh dunia dan tetek bengek persoalan manusia. Juga pencariannya tentang kebenaran sejati yang tentunya hanya milik sang maha benar pencipta sekalian alam.
Hasil lihat-lihat di http://islamsyiah.wordpress.com/, saya temukan tulisan menarik dari Muchtar Luthfi yang judul aslinya adalah ‘Rasionalitas Syariat Islam”. Namun saya tertarik pada bagian yang membahas tentang rasionalitas dan agama. Saya cukil dan rangkum sebagian, bagian yang hanya menarik bagi saya.
Salah satu isu penting dalam diskursus Filsafat Agama adalah relasi agama dan rasio. Jika kita mengurut kronologi isu ini, akan kita dapati betapa peliknya para rohaniawan Kristen pada Abad Pertengahan dalam mempertahankan dogma-dogma agama yang banyak tidak sesuai dengan interpretasi akal dan ilmu pengetahuan[1]. Sehingga dari situ, muncullah beberapa pemikiran para intelektual yang ingin mengkritisi dogma-dogma tersebut, ataupun usaha-usaha meng-islah-kan ajaran agama dengan rasio. Tersusunlah apa yang disebut dengan “Teologi Baru” (new theology) sebagai satu usaha dalam rangka niatan tersebut.
Isu relasi agama dan rasio pada akhirnya menyebabkan seorang kristian, Fulton J. Sheen, dalam karyanya “God and intelligence in Modern Philosophy”, mengatakan: “Pengingkaran terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas, sebagaimana pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal; kedua hal tersebut tak mungkin terpisahkan”. Reaksi para teolog dan pemuka rohaniawan Kristen -dalam mempertahankan keyakinan mereka menghadapi tantangan tersebut- cukup beragam. Saat itu muncullah tiga bentuk reaksi[2]:
Dari sini kita tahu, bahwa dalam tradisi Kristen seakan argumen rasional lebih ditekankan dalam rangka pembelaan atas ajaran agama (apologetic). Dengan kata lain, rasio dipergunakan untuk mencari pembenaran, bukan untuk mencari kebenaran. Pada kalangan umat Islam pun sudah ada tantangan dalam upaya mengkompromikan agama dan rasio, yang terkadang digelindingkan oleh beberapa pemikir yang selalu kritis dalam memperlakukan teks-teks agama yang dianggap tidak sesuai dengan alam pikiran mereka.
Islam sebagai agama pamungkas dan syariat terakhir yang diturunkan oleh Allah swt, serta Al-Quran sebagai kitab suci terakhir dituntut mampu dalam menjawab semua tantangan yang ada. Adakah ajaran Islam selaras dengan apa yang diserukan oleh akal budi manusia? Apakah Islam dengan berbagai teks agama yang dimilikinya mampu menjawab semua tantangan rasionalitas pemikiran? Jika jawabannya negatif, niscaya Islam akan kehilangan predikatnya sebagai agama terakhir yang idealnya mampu menjawab tantangan segala zaman. Akan tetapi jika jawabannya positif, maka akan banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut sebagai konsekuensi dari jawaban positif tadi.
Dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dari isu tersebut ialah; apakah yang dimaksud dengan rasio? Adakah rasio bisa menjadi tolok ukur kebenaran ajaran agama? Bagaimana Islam menerima argumentasi rasional? Adakah ia sebatas sebagai apologetic sebagaimana yang digunakan dalam tradisi Kristen, atau memang sudah menjadi keseutuhan Islam? Sampai batas manakah rasio bisa menjadi dalil kebenaran? Bagaimanakah rasio manusia yang relatif ini bisa menjadi tolok ukur kebenaran? Bagaimana metode islah dan penyelarasan antara rasio dan agama? Bagaimana jika ternyata ketimpangan antara rasio dan teks agama? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul dari isu itu.
Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa akal sama sekali tidak memiliki peran dalam kebenaran ajaran agama Islam. Mereka-mereka yang beranggapan semacam itu berargumen dengan ayat yang berbunyi: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai“ (Qs al-Ambiyaa’:23), sehingga atas dasar ayat inilah kita dilarang untuk bertanya atas segala ketentuan Ilahi, sedang dalam ayat lain Allah berfirman: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah“ (Qs al-An’am:57) yang berarti bahwa segala peraturan dan perintah milik Allah secara mutlak.
Pelarangan secara mutlak segala jenis pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang tersembunyi dibalik ajaran agama akan mengakibatkan ke-jumud-an dan yang berakhir pada ketidak berkembangnya keilmuan umat akan agamanya sehingga agama hanya sekedar gudang ajaran yang bersifat dogmatis belaka. Jika hal itu terjadi sementara fitrah selalu ada gejolak untuk mempertanyakan sesuatu yang masih belum ia pahami maka agama beserta doktin-doktrinnya akan sekedar menjadi hiasan pada KTP belaka dan menjadi sekedar warisan nenek moyang, dan berakhir telah keluarnya agama dari tujuan aslinya yaitu menghantarkan kepada kemuliaan dunia-akhirat yang itu semua mustahil terwujud tanpa didukung dengan keilmuan. Selain itu peningkatan kualitas ibadah –yang ditekankan oleh Allah- tidak akan bisa terwujud, dikarenakan kualitas ibadah didasari keilmuan akan makna ibadah itu sendiri juga dipengaruhi oleh niat yang baik dimana niat yang baik harus dilandasi pula dengan pengetahuan, oleh karenanya jika pintu tanya-jawab ditutup maka ilmu yang masih belum didapat tidak akan pernah ia dapati sehingga kualitas ibadah yang baikpun tidak akan pernah bisa didapat.
Disini saya temukan alasan keselarasan akal dan agama. Bahwa agama memang betul untuk orang-orang yang berakal. Justru alasan adanya agama adalah karena manusia memiliki akal dan kemampuan berpikir. Adanya pendapat sebagian orang tentang tidak layaknya akal digunakan untuk menilai ajaran agama adalah omong kosong. Pendapat bahwa agama lahir karena keterbatasan akal, ketidakmampuan akal dalam menjelaskan segala sesuatu yang terjadi disekitar manuisa, lantas manusia lari dan mencari jawabannya dalam agama, adalah keliru. Perlu dibedakan antara agama dan kepercayaan.
Ini pandangan saya saat ini. Saat ini lho..!! karena tidak menutup kemungkinan suatu saat kebenaran saya berubah. Pembelajaran dan perjalanan menuju kebenaran toh tidak mengenal kata berhenti. Kebenaran sejati yang hanya milik Tuhan. Pencarian kebenaran itu sendiri pada akhirnya bermuara pada pencarian menuju Tuhan. Dan pencarian itu diawali dengan hadirnya pertanyaan-pertanyaan dari berpikir melalui akal. Mari berpikir dan bertanya. Tanya dan tanya..!!!
Malu bertanya sesat di jalan..
“Science without religion is lame, religion without science is blind”; Ilmu pengetahuan tanpa agama niscaya lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta. (Albert Einstein)
2 comments:
silahkan merujuk ke millahibrahim.wordprees.com
Topik Rasionalitas dan Agama yg anda bahas sungguh menarik sekali, sy menyarankan anda untuk pelajari filsafat Buddhisme terutama Buddhisme Theravada dan anda lihat apakah Buddhisme sesuai dengan topik ini,Buddhisme memiliki tradisi Ehipasiko : "Datang, Lihat, Pelajari, dan Buktikan kebenaran Dhamma" ini adalah undangan terbuka Sang Buddha kepada semua mahluk yang ingin mencari jalan pencerahan / pembebasan mutlak (Nibbana). (maaf sebelumnya sy tidak bermaksud untuk pengaruhi anda ini hanya sharing saja terima kasih)
Post a Comment