Alarm pada Hp berbunyi berulang-ulang. Suaranya mencengkeram dan menarik saya kembali ke alam nyata. Kantuk yang masih kuat menyelimuti mendorong saya untuk makin merapatkan selimut. Suara itu-pun akhirnya berhenti dengan sendirinya, namun untuk kemudian berbunyi lagi. Jika belum dimatikan, maka alarm itu akan berbunyi berulang setiap lima menit. Betul-betul alat yang dirancang untuk menggangu dan merusak indahnya tidur. Dengan mata masih terpejam, saya raih sumber suara, sekali tekan, suara itu pun berhenti. Saya regangkan persendian dan bangkit, jam menunjukkan pukul 04.10 pagi.
Tepat pukul 05.30 saya keluar rumah dan berjalan menuju jalan besar. Sebuah angkot berhenti tepat di depan saya. Sebentar kemudian angkot berjalan membawa saya menuju perempatan yang sekaligus menjadi terminal bayangan. Hari masih gelap, namun aktivitas sudah banyak terlihat. Seolah mengejar (atau dikejar) waktu, orang-orang bergerak dengan intensitas yang cepat.
Dari sini saya berpindah menumpang sebuah mobil jenis carry berplat hitam, biasa di sebut omprengan, menuju Jakarta. Lima belas menit kemudian mobil omprengan yang saya tumpangi memasuki tol jagorawi. Baru lima menit berlalu, mobil mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti. Saya tegakkan tubuh untuk melihat apa yang terjadi. Barisan mobil berjajar di depan, mengular memenuhi seluruh badan jalan, memanjang sejauh mata memandang. Saya tarik nafas dalam-dalam, WELCOME TO JAKARTA...
Macet memang sudah menjadi hal biasa di jakarta, bahkan sudah menjadi trade mark kota ini. Semakin hari semakin bertambah parah dan meluas. Apa yang dikhawatirkan puluhan tahun yang lalu bahwa pada saatnya kemacetan lalu lintas akan tak terkendalikan, akhirnya terjadi juga. Usaha untuk mencairkan kemacetan itu, jka dilakukan, membutuhkan waktu paling cepat lima tahun (Kompas, Kamis 8 November 2007).
Penyebab kemacetan sudah sangat mendasar. Pertambahan kendaraan yang tak terkontrol, sedangkan pertambahan panjang dan lebar jalan sangat tidak signifikan. Mobil di ibukota kini sudah mencapai angka dua juta kendaraan, sepeda motor tiga juta, ditambah setiap hari 900.000 sepeda motor dan 650.000 mobil masuk Jakarta. Sementara ide dan gagasan untuk mengatasi kemacetan hanya sebatas wacana tanpa implementasi nyata, hanya bersifat maju mundur.
Sesungguhnya sudah banyak gagasan yang ada untuk mengurangi jumlah kendaraan yang masuk Jakarta. Dari mulai konsep megapolitan, sistem electronic road pricing (ERP) seperti di Singapura, penerapan pajak yang tinggi untuk mobil dan tarif parkir yang mahal. Bila ini diterapkan, pastilah orang akan berpikir lima kali (bukan hanya dua kali) untuk masuk ke ibukota dengan mobil pribadi. Hal ini akan mengurangi jumlah kendaraan, dan tentunya akan mengurangi kemacetan.
Juga perlu dikembangkan transportasi massal yang betul-betul nyaman dan betul-betul anti macet (yang ada sekarang hanya katanya nyaman dan katanya anti macet), sehingga pengguna kendaraan pribadi akan suka rela berpindah menggunakan angkutan umum. Dan itu semua harus betul-betul diterapkan dan dilaksanakan.
Teman saya juga pernah berpendapat, perlu adanya pengaturan jadwal masuk untuk anak sekolah, sektor swasta, sektor pemerintah, dan sekor perdagangan (informal). Menurutnya salah satu penyebab kemacetan adalah orang-orang yang serentak memulai aktivitasnya, sehingga merekapun serentak dan berbarengan turun dan memenuhi jalan-jalan ibukota. Pengaturan jadwal ini dapat dilakukan, misalnya untuk anak sekolah, jadwal masuk sekolah jam 07.00 pagi, lalu sektor swasta jam 08.00, pegawai pemerintah jam 09.00, dan yang bergerak di sektor bisnis dan perdagangan memulai aktivitas mereka jam 10.00. Dengan jadwal yang berbeda akan membuat orang-orang tidak bersamaan memenuhi jalanan ibukota, dan akan mengurangi penumpukan massa yang berimbas pada terurainya kemacetan. Ide yang masuk akal bukan??
Masalahnya Fauzi Bowo dan Priyanto, dua sejoli yang kini memimpin DKI, apakah mau membuat kebijakan yang tidak populis namun baik di masa depan? Apakah mereka punya nyali untuk menerapkan aturan yang sangat radikal? Jika masih terlalu banyak pertimbangan, sampai lebaran monyet-pun masalah di ibukota ini tidak akan pernah selesai. Yang dibutuhkan saat ini adalah action nyata dan bukannya pertimbangan dan peraturan yang tidak jelas pelaksanaannya. Sementara permasalahan Jakarta sudah hampir sampai klimaks-nya.
Pukul 07.50, setelah menempuh perjalanan selama dua jam lebih, akhirnya saya sampai juga dikantor tempat saya bekerja di daerah jakarta utara. Lelah dan stress sudah harus saya alami bahkan sebelum pekerjaan di mulai. Belum lagi perjalanan pulang yang pasti akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Setiap hari, total waktu yang saya butuhkan untuk perjalanan pulang pergi (PP) sekitar lima jam. Saya yakin, ini tidak hanya saya sendiri yang mengalami, masih banyak saya-saya yang lain yang juga melakoni hal serupa. Saya memang masih belum berkeluarga, tapi bagi yang sudah, hilanglah waktu untuk berkumpul dengan keluarga, hilang waktu untuk beristirahat, dan hilang waktu yang sebetulnya bisa dilakukan untuk hal-hal lainnya. Betul-betul pemborosan yang sangat effisien...
Hanya satu yang bisa saya lakukan.
Enjoy Jakarta.. (Jargon yang selalu didengung-dengungkan Pemda DKI).
Read more...