Mudik: Napak Tilas Kaum Urban
Hari ini hari pertama kembali pada rutinitas kerja. Kembali pada suasana sumpek dan semrawut kota Jakarta. Kembali pada kesunyian di tengah-tengah hiruk pikuk keramaian kota, di tengah ribuan manusia asing yang tak (mau) dikenal. Entah berapa lama nuansa kesegaran desa dan kampung halaman bertahan menghadapi ibu kota Jakarta ini.
Idul fitri kali ini, 1430 H. Merupakan hari raya pertama yang saya jalani sebagai seorang yang sudah berkeluarga. Dengan status baru ini, ritual mudik tetap dijalani. Pengaturan jadwal silaturahim menjadi lebih padat. Diatur sedemikian rupa agar pembagian kunjungan adil dan seimbang antara keluarga orang tua dan keluarga istri. Lelah namun bahagia.
Mudik merupakan fenomena hari raya yang hanya terjadi di Indonesia. Kondisi sentralisasi negara ini menjadikan ibukota sebagai tujuan utama para pencari penghidupan. Arus Urbanisasi tak terbendung. Kaum urban yang telah bertahun-tahun menetap dan menjelma menjadi masyarakat kota memanfaatkan moment idul fitri dan libur panjang untuk kembali menjenguk kampung halamannya. Silaturahim dengan keluarga di desa sekaligus mengenang dan mengingat asal usul mereka. Eksodus jutaan manusia meninggalkan ibukota keluar menuju ke kampung halaman bagai arus balik urbanisasi yang fenomenal. Walau hanya sesaat. Karena setelah musim mudik usai. Jutaan manusia tersebut kembali berbondong menuju ibukota.
Banyak yang memandang negatif kegiatan ini. Mereka beralasan mudik hanya aktivitas pemborosan tenaga, biaya, dan waktu.
Saya membaca satu artikel ulasan mudik yang apik. Saya tulis ulang artikel tersebut.
Oleh: Djoko Suud Sukahar
Jakarta - Hari-hari ini eksodus besar-besaran terjadi di kota. Jutaan orang berserak memenuhi jalanan. Dengan berbagai gaya dan sarana mereka pergi secara bersamaan. Akibatnya tidak hanya terminal, bandara dan stasiun yang sesak, tetapi juga jalan raya. Motor dan mobil dipacu tak istirah, dengan satu tujuan mudik ke kampung halaman. Ini ritus laten yang berlangsung tiap tahun.
Lebaran kian dekat, dan ritus macam itu juga terus terulang. Tidak ada yang merasa jenuh dan lelah menjalani. Suasana riuh-rendah dan crowded di mana-mana menjadi kenikmatan. Di hari menjelang Idul Fitri ini berjubel dalam antrean dan berarak ‘tak beraturan’ di tengah kemacetan bukan lagi beban.
Semua sukacita. Itu bukan prerogatif yang mapan dan kecukupan. Saudara-saudara kita yang tertimpa musibah gempa juga menyambut hari itu dengan batin yang sama. Itu karena di Idul Fitri ini keluarga yang terberai bertemu. Dan suka maupun duka menyatu dalam kisah yang melodramatik.
Menjelang lebaran situasi gabah diinteri memang bukan gambaran suram. Itu seperti surga yang lama dinanti-nanti. Tak hanya sebagai perayaan di hari kemenangan setelah berpuasa, tapi juga sebagai hari untuk berkaca diri dan melihat masalalu. Sekarang inilah saatnya pemudik memasuki ‘time tunnel’. Melakukan napak tilas, memutar ulang jalan setapak dari proses panjang sebuah perjalanan.
Suasana syahdu itu yang terbayang. Beban itu yang tersandang. Menumpuk di sebuah bab dalam buku catatan kegagalan dan keberhasilan dari orang-orang yang berasal dari desa itu. Diary ini tidak pernah dibuka dan tidak pernah diungkap. Kota yang kompetitif membuat semuanya soliter. Hidup sendiri. Langka manusia solider. Tak banyak yang rela berbagi telinga untuk mendengar kisah yang lain.
Di desa, telinga dan anggukan kepala melimpah. Kisah romantis dari kota, betul atau karangan, diamini setulus hati. Mereka bangga warganya berhasil di ‘negeri seberang’. Mereka respek dengan keberanian serta kegigihan siapa saja yang berhasil ‘menaklukkan’ kota besar. Bagi warga desa tidak ada lawan atau kompetitor. Yang ada, semuanya saudara, teman dan handai taulan.
Suasana yang memberi ruang untuk berbagi suka dan duka itu yang lama diidamkan. Salah dan benar tidak disoal, melebur dalam fitrah. Kalau salah dimaafkan,
syukur-syukur benar. Di desa manusia kembali ke asal. Alpa atau sadar semuanya dikemas jadi fitri, tanpa noda. Itu karena sikap tanpa pamrih dan apresiasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi soko guru masyarakatnya.
Suasana seperti itu yang paling mahal. Betapa kerinduan terhadap kampung halaman telah mengisi relung tersendiri dalam hati kecil tiap individu. Itu yang sering menggugah alam bawah sadar untuk kembali diputar ulang dan dikisahkan berulang-ulang. Tapi bagaimana mungkin ‘siksa’ menjadi surga hanya sekadar untuk berbagi kisah dan menengok masalalu di desa?
Ada seorang teman yang punya kebiasaan unik tatkala menjelang lebaran tiba. Menunggu berbuka puasa dia ‘ngabuburit’ di terminal. Melihat riuh orang mudik, dan mengamati ‘fashion pemudik’ dengan gaya khasnya membawa dos-dos besar terpanggul di pundak.
Menyaksikan para pemudik itu ‘perang’ berebut naik bus berjejal-jejalan, tiba-tiba airmata sang teman itu meleleh. Mulutnya mendesis pelan, dan dari mulutnya terlontar dzikrullah berulang-ulang. Allah, Allah, Allah, Alhamdulillah ya Allah !
Adakah asma Allah itu ditujukan untuk mendoakan agar sang pemudik selamat sampai tujuan? Ataukah itu lontaran belas kasih terhadap pemudik yang ‘kalah perang’ berjuang memperbaiki taraf hidup di perkotaan?
“Bukan, saya justru rindu menjadi mereka. Saya terharu dengan spirit mereka pulang kampung di hari raya Idul Fitri. Entah, saban tahun saya tak kuasa untuk tidak menangis melihat pemandangan itu. Adakah ini karena saya orang kota yang sudah kehilangan keluarga masalalu saya di desa?”
Subhanallah ! Pulang kampung memang surga. Selamat berlebaran di desa, saudaraku !