Hidup cukup
Bang Uki telah lebih dari 20 tahun berdagang nasi uduk di pinggir Pasar Kebayoran lama, Jakarta Selatan. Uduk yang sungguh enak. Tiap pagi puluhan orang antri untuk makan di tempat atau dibawa pulang. Paling lama dua jam saja seluruh dagangan Bang Uki-ada empal, telur, semur daging, tenpe goring- ludes habis. Begitu setiap hari, 20 tahun lebih.
Pertengahan 1980-an ekonomi orde baru tengah menanjak ke puncak ketinggiannya. Bang Uki dengan ritme stabil batang pohon cabai yang terus berproduksi, belanja pukul satu dini hari, masak mulai pukul dua, berangkat pukul empat dan seusai subuh telah menggelar barang dagangannya. Tepat jam tujuh pagi, semua tuntas. Pukul sepuluh dia sudah nongkrong di teras rumah, lengkap dengan kretek, gelas kopi, dan perkutut. “tinggal nunggu lohor”, tukasnya pendek.
Berulang kali pertanyaan bahkan desakan untuk membuka kios terbukanya hingga lebih siang sedikit, ditolak Bang Uki. “Buat apa??”, tukasnya. “Gua udah cukup, anak udah lulus es te em. Berdua bini gua udah naek haji, apalagi?”. Dia mulai memasak saat langit masih gelap. Kedua mata Bang Uki terpejam. Tangannya lincah mengiris bawang merah. Saya menegur. Tak ada reaksi. “Abah masih tidur”, istrinya balas menegur.
Kini 15 tahun kemudian, Bang Uki sudah pensin. Wajahnya penuh senyum. Hidupnya penuh, tak ada kehilangan. Kami yang kehilangan, masakan sedap khas betawi. Kami sedikit tak rela. Bang Uki terlihat begitu ikhlasnya. Wajahnya terang saat ia dimandikan untuk terakhir kalinya. Dua jam berdagang, enam jam bekerja, telah mencukupkan hidupnya.
Dan Bang Uki tidak sendiri. Nyi Omah juga tukang uduk di pasar Jum’at, Pak Haji Edeng tukang soto Pondok Pinang, pun begitu. Tukang Pecel di Solo, gudeg di Yogya, nasi Jamblang di Cirebon, atau bubur kacang hijau di Bandung, juga demekian. Mereka yang bekerja dan berdagang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jika telah cukup, untuk apa bekerja lebih. Untuk apa hasil, harta atau uang berlebih? ”Banyak mudaratnya”, kilah Pak Haji edeng.
Mungkin apa yang kini jelas adalah perilaku bisnis dan ekonomi tradisinal negeri ini ternyata mengajarkan satu moralitas; hidup wajib dicukupi, tetapi haram dilebih-lebihkan. Berkah Tuhan dan kekayaan alam bukan untuk kita keruk seorang. Manusia adalah makhluk sosial. Siapa pun mesti mananggung siapa pun.
Alternatif Kapitalisme
Moralitas berdagang ”Bang Uki” tentu bertentangan dengan apa yang kini menjadi moral dasar perekonomian material-kapitalistik. Di mana prinsip laissez faire atau free will dan free market digunakan tak hanya untuk memberi izin, bahkan mendesak setiap orang untuk ’mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit mungkin”. Satu spirit yang nyaris jadi kebenaran universal dan hampir tak ada daya tolak atau daya koreksinya.
Dan siapapun mafhum dengan segera, prinsip dan moralitas ekonomi modern itu bukan hanya melahirkan orang-orang yang sangat kaya, bahkan keterlaluan kayanya (semacam pembeli ferrari seharga Rp 5 miliar yang mubazir di Jakarta yang macet), tetapi juga sejumlah besar orang yang hingga kini tak bisa menjamin apakah ia dapat makan hari ini atau tidak.
Marolitas kapitalistik hanya menyediakan satu jalur sosial berupa filantrolisme, yang umumnya hanya berupa 'pengorbanan’ material yang hampir tiada artinya dibanding kekayaan bersih yang dimilikinya. George Soros misalnya, dengan kekayaan 11 miliar dollar AS (hampir sepertiga APBN Indonesia), mengeluarkan 400 juta dollar AS (hanya sekitar 4% atau setara dengan bunga deposito) untuk berderma dan menerima simpati global di sekian puluh negara.
Dan siapa peduli, bagaimana seorang Bill Gates, Rupert Murdoch, Liem Sioe Liong atau Probosutedjo menjadi begitu kayanya. Moralitas dasar kapitalisme diatas adalah dasar ’legal’ untuk mengamini kekayaan itu. Betapapun, boleh jadi, harta yang amat berlebih itu diperoleh dari cara-cara kasar, telengas, ilegal, bahkan atau-langsung dan tak langsung-dari merebut jatah orang lain.
Dan siapa mampu mencegah atau menghentikannya? Pertanyaan lebih praktisnya adalah: Siapa berani? Tak seorang pun. Hingga sensus mutakhir menyatakan adanya peningkatan jumlah harta orang-orang kaya dunia sebanding dengan peningkatan jumlah orang-orang papa. Belahan kekayaan ini sudah seperti palung gempa yang begitu dalamnya.
Lalu di mana Bang Uki? Ia tak ada di belahan manapun yang tersedia. Yang mungkin aneh, alienatif, marginal, tersingkir, luput, apa pun.
Namun sesungguhnya, ia adalah sebuah alternatif. Bukan musuh, lawan, atau pendamping kapitalisme. Ia adalah sebuah tawaran yang membuka kemungkinan di tengah kejumudan (tepatnya ketidakadilan) tata ekonomi dunia saat ini.
Ekonomi Cukup
Prinsip ”hidup yang cukup” Bang Uki adalah landasan bagi sebuah 'ekonomi cukup’, di mana manusia tidak lagi mengeksploitasi diri (nafsu)-nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya. Ia mengekplorasi potensi terbaiknya untuk memenuhi keperluan manusia, sebatas tuhan-yang mereka percaya- menganjurkan atau membatasinya.
Bagaimana ’cukup’ itu di definisi atau dibatasi, tak ada-bahkan tak perlu-ukuran dan standar. Seorang pengusaha dan profesional dapat mengukur sendiri dengan jujur batas ’cukup’ bagi dirinya.
Jika bagi dia dengan keluarga beranak dua, pembantu dua, tukang kebun, satpam, atau lainnya, merasa cukup dengan sebuah rumah indah, dua kendaraan kelas menengah, mengapa ia harus meraih lebih? Mengapa ioa harus melipatgandakannya?
Apalagi jika usaha tersebut harus melangggar prinsip hidup, nilai agama, tradisi, dan hal-hal lain yang semula ia junjung tinggi? Andaikan, sesungguhnya ia mampu menghsilkan puluhan miliar tabungan, sekian rumah mewah peristirahatn, bahkan jet pribadi, dapat dipastikan hal itu hanya akan menjadi beban. Bukan melulu saat ia berusaha meraih, tetapi juga saat mempertahankannya.
Bila pengusaha tersebut berhasil men”cukup”-kan dirinya, secara langsung ia telah mengikhlaskan kekayaan lebih yang tidak diperolehgnya (walau mampu) untuk menjadi rejeki orang lain. Ini sudah sebuah tindakan sosial. Dan tindakan tersebut akan bernilai lebih jika ”kemampuan lebihnya” itu ia dayagunakan untuk membantu usaha atau sukss orang lain. Sambil menularkan prinsip ”ekonomi cukup”, ia akan merasakan ”sukses” atau kemenangan hidup yang bernuansa lain jika ia berhasil membantu sukses lain orang dan tidak memungut serupiahpun uang jasa.
Maka, secara langsung satu proses pemerataan demi kesejahteraan bersamapun telah berlangsung. Palung atau senjang kekayaanpun menipis. Kesempatan meraih hidup yang baik dapat dirasakan semua phak. Pemerintah dapat bekerja lebih efektif tanpa gangguan-gsangguan luar biasa dari konflik-konflik ayng muncul akibat ketidak adilan ekonomi.
Dan seorang pejabat hingga presiden sekalipun, dapat pula mendefinisikan ”cukup” baginya; jika seluruh kebutuhan hidupku, hinggga biaya listrik, gaji pembantu, hingga pesiar telah ditanggung negara, buat apalagi gaji besar kuminta? Moralitas seperti ini adalah sebuah revolusi. Dan revolusi membutuhkan keberanian, kekuatan hati serta perjuangan tak henti.
Maka, ”cukuplah cukup”. Kita sederhanakan sebagai prinsip hidup/ekonomi yang ”sederhana”. Kian sederhana, maka kian cukup kian sejahteralah kita. Ukurannya? Yang paling sederhana, usul saya; semakin tinggi jenjang jumlah konsumsi dibanding jumlah produksi kita sehari-hari, mkin sederhana, makin cukup, dan sejahteralah kita.
Jika anda mampu membeli ferrari, mengapa tak mengkonsumsi Mercedes seri E saja, atau Camry lebih baik, atau Kijang pun bisa. Dan dana lebih, bisa anda gunakan untuk tindak-tindak sosial, untuk membuat harta anda bersih, aman, dan hidup pun nyaman penuh senyuman.
Beranikah anda? Berani kita? Tak usah berlebih, kita cukupkan saja.
By: RPD