Oleh: Amran Nasution
Istana Kepresidenan Cankaya di Ankara, kini ditempati penghuni baru yang ’’aneh’’. Ia haram minum alkohol, lagi pula istrinya berjilbab. Padahal, 84 tahun lalu, dari istana inilah Jenderal Mustafa Kemal Attaturk memimpin revolusi yang menumbangkan Kesultanan Usmani (The Ottoman Empire).
Pada waktu itu, super power Islam ini memang lagi limbung, menyusul kekalahannya bersama Jerman, menghadapi Sekutu dalam Perang Dunia I. Jenderal Attaturk memanfaatkan kesempatan itu. Imperium yang sudah ratusan tahun malang-melintang di seantero jagat, dia rubuhkan.
Sejak itu, 1923, Turki menjadi republik. Simbol Islam yang menempel di Kesultanan dia campakkan. Lalu semuanya mesti meniru Barat, termasuk dalam urusan minum alkohol. Kemal Attaturk yang dijuluki ’’Bapak Turki Modern’’ itu adalah seorang penikmat alkohol. Begitu pula para penggantinya.
Tapi Selasa, 28 Agustus 2007, Parlemen Turki mengambil sumpah Abdullah Gul, 58 thn, menjadi Presiden Turki untuk masa jabatan 7 tahun. Tokoh partai Islam AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) itu menggantikan Presiden yang sekuler, Ahmet Necdet Sezer. Inilah untuk pertama kalinya seorang politisi Islam menjadi Presiden sejak Kesultanan Usmani ditumbangkan.
Beberapa jam sebelumnya, Gul memenangkan voting di Parlemen, dengan mengumpulkan 339 suara. Dua lawannya, Tayfun Icli dari Demokratik Sol Partisi (DSP) dan Sabahattin Cakmakoglu dari Milliyetci Hareket Partisi (MHP), cuma dapat 83 suara. Parlemen Turki punya 550 kursi. Tapi partai oposisi utama, Cumhuriyet Halk Partisi (CHP), yang punya 112 kursi, memboikot perhelatan.
Maka lengkaplah sudah dominasi partai Islam itu di dalam sistem politik Turki, setelah benteng terakhir kaum sekuler ini direbut. Perdana Menteri dipegang Recep Tayyip Erdogan, pendiri dan pemimpin puncak AKP. Ketua Parlemen, Bulen Arinc, juga dari AKP. Lalu hampir seluruh kursi walikota disapu kader AKP, yang selalu menang dalam berbagai Pilkada. Sekarang Presiden pun menclok di tangan.
Artinya, setelah 84 tahun disingkirkan Attaturk dari percaturan politik, kini Islam telah kembali. ’’Sesungguhnya hari ini kami berganti lembaran, sebuah lembaran yang penting dalam sejarah politik negeri ini,’’ kata Soli Ozel, profesor hubungan internasional Bilgi University di Istambul (The New York Times, 29 Agustus 2007).
Pengeritik Sekularisme Yang Galak
Di dalam sistem Turki, jabatan Presiden lebih seremonial belaka. Pekerjaan eksekutif ada di tangan Perdana Menteri. Tapi dalam kondisi politik yang berkembang sekarang, ia amat menentukan. Soalnya, Presiden membawahkan serta mengangkat dan memberhentikan pimpinan militer.
Padahal militer selama ini menjadi penghadang gerakan partai Islam itu. Saat pelantikan Abdullah Gul, Kepala Staf Militer Jenderal Yasar Buyukanit absen. Sehari sebelum pemilihan dia malah mengecam pencalonan Gul, dengan menyatakan, ’’pusat setan sedang bekerja untuk menghapus sekularisme’’. Ternyata itu tak lagi dipedulikan orang, menandakan kelompok militer mulai kehilangan taring.
Presiden juga bisa memveto pengangkatan jabatan birokratis, termasuk para hakim. Kemudian dia memiliki hak veto atas rancangan undang-undang.
Itulah selama ini yang membuat stress Erdogan. Ada ratusan usulan jabatan birokratis dan tak sedikit RUU yang dia ajukan, dilemparkan Presiden Ahmet Necdet Sezer ke keranjang sampah. Alasannya, bertentangan dengan konstitusi.
Padahal para pejabat yang diusulkannya dianggap lebih jujur dan profesional dibanding para pejabat sekarang – dari kelompok sekuler – yang terbukti selama ini korup dan nyaris membangkrutkan Turki.
Pemakaian jilbab, misalnya, jelas harus segera diatur undang-undang sebab beberapa bulan lalu, Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Right) telah menjatuhkan vonis atas pengaduan Merve Kavakci. Pengadilan menyatakan kasus itu merupakan sebuah pelanggaran HAM.
Begini ceritanya. Kavakci berhasil memenangkan pemilihan anggota Parlemen pada Pemilu 1999. Namun dia gagal dilantik setelah datang ke gedung Parlemen dengan jilbab. Kelompok politik sekuler dan militer menganggap jilbab adalah simbol Islam. Karena itu diharamkan masuk ke semua gedung pemerintah.
Perempuan yang satu ini tak mau mengalah, ia melancarkan protes. Eh, tahunya kewarganegaraannya malah dicabut. Kavakci kemudian mengajar di George Washington University, sekalian menjadi warga negara Amerika Serikat.
Tapi sejak itu dia menjadi pengeritik sekularisme Turki yang galak. Dia berkeliling dunia mengampanyekan jilbab sebagai simbol pemberdayaan kaum perempuan. Terakhir dia bawa kasus jilbabnya ke European Court of Human Right, dan menang. Keputusan itu tentu harus diadopsi undang-undang Turki karena negeri itu sedang melamar menjadi anggota Uni Eropa.
Ketika Abdullah Gul dilantik menjadi Presiden, ia tak didampingi sang istri, Hayrunnisa Ozyurt yang berjilbab. ’’Ibu tak hadir untuk mengelakkan kontroversi,’’ ujar Mehmet Emre, putranya, seperti dikutip The Washington Post, 28 Agustus lalu.
Kasus yang sama terjadi pada Nyonya Emine Erdogan. Istri Perdana Menteri Erdogan itu juga tak pernah melepaskan jilbab. Sejumlah pelajar, mahasiswi, atau anggota Parlemen, terpaksa pakai rambut palsu (wig) pengganti jilbab, agar bisa masuk sekolah, kampus, atau kantor. Ini semua terjadi di sebuah negeri berpenduduk 76 juta, dengan 99% di antaranya adalah pemeluk Islam.
Setelah Gul jadi Presiden, agaknya kontroversi jilbab ini segera akan selesai. Begitu pula ratusan usulan untuk merombak birokrasi, atau sejumlah rancangan undang-undang yang selama ini diveto Presiden Sezer.
Apa yang terjadi di Turki memang menyedihkan dan terkadang menggelikan. Seorang wartawan Barat, tertawa ketika mengelilingi pedesaan Turki, melihat para petani memakai topi petani Francis model tahun 1920-an, yang sudah lama tak lagi dipakai di negeri asalnya. Rupanya, dulu Attaturk mewajibkan para petaninya memakai topi itu agar mereka bisa semaju petani Perancis.
Dalam pemilu 2002, untuk pertama kalinya AKP menang mutlak, mengantarkan 363 anggotanya ke Parlemen. Sebelum pelantikan, mereka ramai-ramai mencukur kumis dan jenggot (diliput media lagi), tak mau dituduh membawa simbol Islam ke gedung Parlemen.
Tapi memang yang begini-beginilah yang dilakukan Jenderal Mustafa Kemal Attaturk dan sampai sekarang dipertahankan kaum politisi sekuler dan militer. Pokoknya, semua bau Islam harus dibersihkan karena kolot dan sumber kemandegan. Semua bau Barat harus dipeluk erat, karena sumber kemajuan dan moderenisasi. Pada waktu itu, pikiran Attaturk ini merambah ke mana-mana, termasuk ke India atau Indonesia. Bung Karno, misalnya, termasuk pengagum berat Attaturk.
Kenyataannya Turki tak pernah maju. Coba, seluruh tulisan Arab diganti Latin. Kebesaran Kesultanan Usmani tak boleh dikenali. Akibatnya generasi muda Turki kehilangan akses pada bahan peninggalan sejarah Usmani. Mereka terputus dari akar budaya masa lalu yang agung.
Panggilan azan diganti berbahasa Turki, musik klasik Barat mengiringi pengajian, kursi dimasukkan ke dalam masjid agar mirip gereja, pakaian tradisional dilarang dan diganti jas dan dasi. Fez, kopiah tradisional Turki dinyatakan terlarang. Ini semua memang kelihatan aneh. Maka banyak juga yang tak diikuti rakyat, seperti panggilan azan, musik klasik, dan kursi masuk masjid itu. Tapi satu hal yang pasti, semua pernak-pernik itu terbukti tak ada hubungannya dengan maju atau moderen.
Erbakan Terlalu Bersemangat
Lama kelamaan Islam yang sudah dicampakkan Attaturk, pelan-pelan kembali dipungut rakyatnya. Sebuah penelitian di tahun 1990 – 1991, tentang tingkat religiusitas penduduk di 41 negara di dunia, menempatkan Turki paling religius, setelah Nigeria, Brazil, dan Polandia (Samuel P.Huntington: Who Are We, America’s Great Debate, The Free Press, 2005).
Apalagi kaum sekuler dan tentara yang menguasai negeri itu, tak juga berhasil mendatangkan kemakmuran. Banyak orang Turki terpaksa berkelana ke Eropa – terutama Jerman – untuk bekerja sebagai buruh murah.
Bayangkan, di tahun 2000 - 2001, inflasi mencapai 45%, pertumbuhan ekonomi mandeg. Krisis menerpa sektor keuangan dan perbankan. Lira Turki merosot tajam terhadap Dollar atau mata uang asing lainnya. Yang lebih parah, partai politik sekuler yang menguasai birokrasi – di-beking tentara – terlibat berbagai skandal korupsi. Itu mempercepat ambruknya perekonomian.
Secara resmi militer tak campur urusan politik. Tapi dengan dalih menjaga konstitusi, mereka seenaknya bikin kudeta, membubarkan pemerintah atau partai. Itu terjadi berulangkali. Lalu dengan cara itu mereka terus-menerus berkuasa.
Setelah puluhan tahun dijejali sekularisme rakyat mulai mencari alternatif. Maka pada pemilu 1994, partai Islam Refah (Refah Partisi) menang. Pemimpinnya, Necmettin Erbakan, menjadi Perdana Menteri. Dialah Perdana Menteri pertama dari kelompok Islam, setelah revolusi Attaturk. Pada waktu itu, Erdogan dan Abdullah Gul adalah kader Refah. Erdogan menjadi Walikota Istambul, dan Gul menjabat Menteri Kabinet.
Sayang Erbakan terlalu bersemangat. Gebrakan politiknya terlalu kasar. Dengan tuduhan ingin mengganti konstitusi sekuler pada 1997, militer menumbangkannya. Sekalian Partai Refah dibubarkan.
Erdogan dan Gul terpaksa meninggalkan Erbakan. Mereka mendirikan partai baru AKP, Agustus 2001. Partai inilah setahun kemudian, akhir 2002 – disusul kemenangan Pemilu kemarin -- menyapu mayoritas kursi Parlemen Turki.
Padahal di musim kampanye, Erdogan mau pun Gul tak tampil meledak-ledak. Mereka hanya sibuk mengunjungi rakyat miskin di pinggiran kota atau di pedesaan. Ada acara sunatan massal, kawinan massal, pengobatan massal, atau bantuan bencana alam –mirip model kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS)-- di sini.
Dan ’’keajaiban’’ itu pun terjadi. Begitu dipegang Perdana Menteri Erdogan, ekonomi Turki yang morat-marit, segera pulih. Inflasi terkendali dan menurun tajam: sekarang di bawah 8%/tahun. Mata uang Lira menguat. Perekonomian tumbuh konsisten 7 sampai 8%/tahun. Maka kota-kota pun berubah: gedung jangkung bertumbuhan. Dan semua itu terjadi dalam tempo tak sampai lima tahun.
Ada lagi yang menarik. Selama ini, perekonomian dipegang kaum sekuler. Mereka mapan karena puluhan tahun berkuasa dan kebanyakan tinggal di kota. Kini bermunculan para konglomerat Islam yang umumnya adalah kaum urban dari pedesaan. Mayoritas pendukung AKP memang orang desa.
Yang paling fenomenal adalah Kombassan Holding milik Hasjim Bayram, konglomerat top di Turki. Pada mulanya, Hasyim cuma guru di sebuah sekolah Islam di kotanya, Konya. Ia memulai bisnis dengan membuka percetakan kecil pada 1989. Kini, Kombassan menggurita mulai dari bisnis otomotif, elektronik, konstruksi, tekstil, petroleum, pusat perbelanjaan, dan makanan. Perusahaannya pun melebar ke mancanegara. Walau tak sebesar Kombassan, perusahaan seperti itu bertumbuhan.
Itu yang membuat kaum sekuler merasa kian terdesak. Apalagi banyak konglomeratnya selama ini terlalu bergantung pada kekuasaan, dan langsung rontok setelah AKP berkuasa. Tak aneh kalau Deniz Baykal, pemimpin partai oposisi CHP, menuduh pemerintah Erdogan mengembangkan ekonomi berbasis Islam. Katanya, kebangkitan ekonomi disebabkan besarnya suntikan modal dari Arab Saudi.
Setelah terjadi serangan teror 11 September 2001 di Amerika, banyak pemilik modal Arab Saudi menarik uangnya dari negeri itu, lalu dipindah ke Francis atau beberapa negara Eropa, Timur Tengah, dan Turki. Itulah yang mereka sebut green money (uang hijau). Kebetulan Abdullah Gul akrab dengan para penguasa Arab Saudi, karena pernah bekerja di Islamic Development Bank (IDB) di Jeddah.
Negara Teroris
Dulu Erbakan tak peduli Uni Eropa, Erdogan sebaliknya. Gul sebagai Menteri Luar Negeri sangat serius melobi agar Turki bisa menjadi anggota Uni Eropa. Memang tampaknya tak mungkin Uni Eropa menerima Turki yang Islam.
Tapi bagi Erdogan dan Gul, langkah itu sangat menguntungkan untuk pertarungan politik internal. Berbagai survei menunjukkan mayoritas rakyat ingin negerinya bergabung dengan Uni Eropa. Dengan langkah ini, dukungan rakyat terhadap mereka pun kian menguat.
Lagi pula persyaratan terpenting untuk menjadi anggota Uni Eropa adalah demokratisasi dan penegakan HAM. Kedua isu itu kian memperkuat posisi AKP dalam menghadapi militer. Ketika April lalu, situasi politik meninggi, menyusul pencalonan Abdullah Gul sebagai Presiden dari AKP, Uni Eropa segera mengingatkan militer Turki agar jangan melakukan kudeta. Turki adalah anggota NATO sehingga militer negara itu punya hubungan ke Uni Eropa.
Langkah ke Uni Eropa, menerima HAM, menegakkan demokrasi, mentrapkan pasar bebas, semua ini membuat kebangkitan politik Islam di Turki memberi nuansa berbeda. The Washington Post, 27 Agustus 2007, menulis, ’’Terpilihnya Gul sebagai kemenangan demokrasi, sejauh dilihat partai politik Islam bisa moderat dan liberal.’’
Namun harus dicatat, sekali pun dia moderat dan liberal –dalam kacamata Barat -- AKP tetap konsisten memperjuangkan aspirasi pengikutnya. Apakah itu soal jilbab, minuman keras, sampai hubungan dengan Israel.
Michael Rubin dari American Enterprise Institute, pada 2005, menulis di Middle East Quarterly, menguraikan betapa konsistennya AKP dalam soal itu. Erdogan mengajukan proposal agar pelajar sekolah Islam dipermudah masuk ke perguruan tinggi negeri yang sekuler. Erdogan juga mengusulkan peraturan yang menyamakan sekolah sekuler dengan sekolah Islam, kenaikan pajak alkohol, ancaman hukuman untuk perzinahan, jilbab, dan sebagainya.
Yang membedakannya dengan Erbakan dulu, menurut Rubin, Erdogan dan kawan-kawan melakukannya dengan sabar, hati-hati, tak mau grasa-grusu, yang bisa mengejutkan kaum sekuler mau pun militer. Tapi dalam hal tertentu, mereka ternyata bisa juga galak.
Dalam politik luar negeri, misalnya. Dari dulu Turki punya hubungan baik dengan Israel. Tapi sejak Erdogan menjadi Perdana Menteri, sudah berkali-kali secara terbuka dia menuduh Israel sebagai negara teroris.
Tuduhan seberani itu bahkan tak pernah terdengar dari para pemimpin negara berpenduduk Muslim lainnya –Presiden SBY, misalnya– sekali pun apa yang dilakukan tentara Israel kepada penduduk Palestina, jelas tindakan terorisme.
Pada 13 Juli 2004, Erdogan menolak kedatangan Deputi Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, ke Ankara. Tapi di hari yang sama ia menerima kedatangan Perdana Menteri Syria, Muhammad Naji al-Utri. Bukan cuma itu. Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad – musuh besar Presiden Bush itu – disambut hangat di Ankara. Begitu pula Khalid Messal, pimpinan Hamas.
Hubungan dengan Presiden Bush dingin, terutama setelah Erdogan berani menolak lapangan terbangnya digunakan pasukan Amerika sebagai pangkalan dalam penyerbuan ke Iraq, 2003. Turki berkali-kali
memperingatkan Amerika, karena pesawat terbangnya yang beroperasi di Iraq, melintasi perbatasan Turki. Belakangan Turki menyampaikan protes setelah terbukti senjata Amerika untuk tentara Iraq, banyak merembes dan dipakai gerilyawan Kurdi di Turki.
Tak aneh kalau menghadapi kontroversi pencalonan Gul sebagai Presiden, Deplu Amerika mengeluarkan pernyataan agar soal itu dikompromikan. Artinya, Amerika tak begitu setuju dengan Gul. Wajar kalau setelah Gul terpilih, sambutan dari negeri Uncle Sam itu dingin-dingin saja.
Semua yang terjadi di Turki menarik diamati. Mungkin kelak kita akan melihat sebuah model negara Islam yang lain, dari yang sudah dikenal selama ini: Iran, Arab Saudi, atau Pakistan.
Read more...