Efisiensi Sistem Denda Tilang
Seorang kawan baru saja pulang dari tugas luar kota. Di pesawat dia terlibat percakapan menarik dengan seorang penumpang. Berikut cerita kawan saya, sengaja saya menggunakan kalimat langsung orang pertama agar lebih mudah dibaca dan dimengerti.
Di dalam pesawat saya langsung duduk. Di sebelah saya seorang bapak berpakaian batik rapi dan necis. Sekilas wajahnya tampak familiar, tapi saya tak dapat mengingat dimana pernah melihatnya.
Setelah duduk saya mengeluarkan isi saku jaket sekedar merapikan. Karcis tol, tiket pesawat, uang, struk belanja alfamart dan ah ya.. surat tilang. ‘Surat cinta’ dari pak polisi tadi pagi. Sangat menyebalkan.
“Surat tilang..??!”, Bapak berbatik di sebelah saya bertanya dengan senyum manisnya.
“Ya. Tadi saat ke bandara buru-buru sampai lupa memakai seat belt”.
“Ah ya.. hal yang sering terjadi. Jadi.. Mas-nya lebih memilih untuk di tilang dan ikut pengadilan ketimbang membayar di tempat??, haha.. warga yang baik”.
Saya tidak menjawab. Tak yakin apakah dia tulus atau hanya pernyataan sarkastik belaka.
Tak lama kemudian pesawat lepas landas.
“Sistem yang amat tidak efisien..!!”, Bapak berbatik tiba-tiba bicara setelah hening sesaat.
“Apa??”
“Itu. Coba pikir, Mas tidak menabrak mobil lain. Tidak melukai orang lain. Tidak mabuk, dan tidak membahayakan orang lain. Mas hanya lupa menggunakan seat belt. Kesalahan kecil yang tak disengaja. Tapi mereka tetap menahan SIM dan Mas harus ke pengadilan untuk membayar denda dan mendapatkan SIM kembali.
Bayangkan berapa banyak orang yang harus terlibat. Polisi harus memproses surat tilang tersebut, kemudian menyerahkannya ke pengadilan, di pengadilan akan semakin banyak orang yang ‘direpotkan’ dan sibuk menyelesaikan berkas-berkas dan urusan administratif lainnya.
Semua orang ini. Sibuk menggeluti sebuah kertas, menghabiskan banyak waktu dan tenaga Untuk apa? Semuanya hanya karena Mas lupa memakai seat belt”.
Bapak itu benar. Saya bahkan tidak berpikir sejauh itu.
“Akan dimengerti jika Mas melakukan suatu kesalahan serius. Namun hanya karena lupa menggunakan seat belt, melanggar marka jalan, salah berputar.. apakah perlu sampai pergi ke pengadilan dan ‘membuang’ waktu semua orang??. Bayangkan semua produktivitas yang hilang. Sekarang Mas harus ke pengadilan dan berada di sana seharian penuh. Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk bekerja dan kegiatan produktif lainnya”.
“Benar. Lalu apa saran Bapak?”, saya bertanya padanya. Penasaran apa pendapat Bapak sebelah saya itu.
“Idealnya, mereka tidak menahan SIM milik Mas. Hanya memberikan surat tilang dan membiarkan Mas pergi. Mas bisa membayar tilang di Bank manapun, dan selesai. Seharusnya simple saja. Tidak perlu harus berlarut-larut”.
“Tapi..”, Bapak berbatik melanjutkan, “Apakah Mas tau apa yang terjadi kalau hal seperti tadi dilakukan?”
“Sebagian orang akan tidak peduli dan tidak mau membayar denda”, sambar saya.
“Tepat! Dan kenapa bisa begitu?”, tanya Bapak berbatik. Senang karena saya mau mengikuti ‘permainannya’ sejauh ini.
“Karena polisi tidak mempunyai alat untuk memaksa kita membayar. Alasan polisi menahan SIM saya adalah agar saya mau membayar denda tilang”.
“Betul! Tapi bukankah polisi mencatat no kendaraan dan bisa melacak bila Mas tidak mau membayar denda?”.
“Ya, tapi tidak semua kendaraan ter-registrasi dengan nama pemiliknya. Kendaraan saya contohnya. Saya membelinya second dari tangan kedua, dan belum balik nama. Masih atas nama pemilik sebelumnya. Maka jika polisi melacak kendaraan saya, yang mereka dapat adalah nama pemilik sebelumnya”.
“Tepat. Kita semakin dekat dengan akar masalah. Sekarang.. kenapa Mas-nya tidak segera balik nama dan meregistrasi kendaraan atas nama sendiri?”.
“Hmm.. sebetulnya lebih karena biaya yang mahal.. dan teman-teman bilang kalau prosesnya sangat birokratik. Sejujurnya, saya belum pernah melakukan hal-hal seperti itu sendiri”.
“Maka kita harus membuatnya menjadi lebih MUDAH.. dan MURAH..”.
“Sulit dilakukan. Pemerintah ingin mendapat pemasukan sebesar mungkin”, jawab saya.
“Ah.. anak muda. Coba lihat seperti ini. Katakanlah pemerintah membuat proses registrasi balik nama menjadi sangat mudah, hanya 10 menit. Dan biaya dipangkas setengahnya. 50 %. Saya berani bertaruh, orang yang merubah nama kepemilikan kendaraannya akan bertambah signifikan. Mungkin tiga kali lipat. Potong biaya setengahnya, dan pemerintah akan mendapat tiga kali lipat. Dan sebetulnya pemerintah akan mendapat lebih banyak lagi.
Jika semua kendaraan telah ter-registrasi atas nama pemilik sesungguhnya, maka jika ada kasus tidak membayar denda tilang, kepolisian akan dapat melacak mereka melalui no kendaraan, dan memberikan denda berkali lipat. Tambahan uang untuk pemerintah”.
Saya mengangguk. Masuk akal.
Bapak tersebut meneruskan.
“Dengan uang lebih, kita dapat menggunakan sebagian untuk memperbaiki kesejahteraan bapak-bapak polisi kita. Mereka ini bekerja siang malam di jalanan penuh polusi. Juga penuh bahaya. Dengan uang tersebut juga kita dapat melakukan perbaikan peralatan kepolisian. Alat komunikasi lebih canggih, komputer, kamera, mobil yang lebih baik, dan motor. Pada akhirnya mereka akan bekerja lebih baik dan mampu menangkap lebih banyak pelanggar lalu lintas dan membawa lebih banyak rupiah pada pemerintah.
Dan kita. Sebagai warga masyarakat. Bila melakukan pelanggaran dan terpaksa harus membayar denda tilang, akan dengan senang hati membayar karena:
Satu, kita tidak perlu membuang waktu dengan pergi ke pengadilan, dan kedua, kita tau pasti bahwa uang yang kita bayarkan akan betul-betul masuk ke negara bukan ke kantong-kantong pribadi para oknum polisi guna memperbesar perut mereka.
Kepolisian dan pengadilan juga akan senang. Sedikit kasus tilang, berarti semakin banyak waktu untuk mengerjakan kasus-kasus yag lebih penting, seperti korupsi contohnya”.
“Kedengarannya bagus”, kata saya. “Lalu kenapa hal itu tidak segera dilakukan?, kenapa kita masih saja terjebak dengan sistem yang tidak efisien ini?”.
“Coba pikir seperti ini. Ini seperti fenomena reformasi kita”.
“Reformasi?”
“Ya. Sebelum kita mendapatkan reformasi, sebagian orang sangat nyaman dibawah Soeharto. Mereka banyak mendapat harta. Membangun lebih banyak bisnis dan mendapat lebih banyak uang. Maka, ketika Soeharto turun, mereka resistant. Hidup sudah bagus, kenapa di rubah?? Ini dapat dimengerti. Mereka tidak ingin kehilangan investasinya, bisnisnya, semuanya yang telah diperoleh di masa Soeharto.
Persis sama dengan yang terjadi pada sistem perundangan lalulintas kita. Kita perlu membuka mata mereka. Kita perlu meminta mereka, jikapun dengan memaksa seperti pada reformasi kita!!. Suatu mimpi yang indah bukan?”.
“Ya..”, jawab saya.
Orang tua yang sangat mempesona.
(Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI. Mencoba memberi alternatif ide untuk memperbaiki negara tercinta ini)
Artikel terkait : Undang-undang pelanggaran lalulintas No 14 tahun 1992